SOLSEL-"Sebenarnya bisa, Mas! Tapi, tetap saja bunyinya Jawa," ujar Suyatmi ketika diminta mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Minang. Perempuan berusia 33 tahun itu tetap menyebar keramahan khas perempuan Jawa.
Dari logat bicaranya, jelaslah kalau Suyatmi itu berasal dari tanah seberang. Namun, sebenarnya perempuan yang sudah dikaruniai tiga orang putra itu lebih kuat keminangannya. Bagaimana tidak! Dia dilahirkan dan dibesarkan di tanah Minang. Sebagian besar hidupnya sudah dihabiskan di negeri ini, sehingga dia tidak bisa lagi mencari jejaknya di kampung halamannya, tanah Jawa.
Suyatmi adalah salah satu cerita tentang perempuan pemetik daun teh di Solok Selatan. Di kabupaten yang baru dimekarkan itu, kebun teh memiliki sejarah panjang dan bahkan lebih tua dari umur republik ini. Bagitupun sejarah hidup Suyatmi dengan Ranah Minang.
Berpuluh tahun lalu, orangtuanya hijrah dari tanah seberang untuk menjadi pemetik teh. Suyatmi kemudian dilahirkan dalam lingkungan masyarakat migran pemetik teh di Solok Selatan. Kalau ditanya kepada Suyatmi sekarang tentang harapannya untuk kembali ke kampung halamannya yang pertama, perempuan itu mengaku tidak terlalu berharap. "Kalau balikpun ke Jawa, tak ada keluarga yang mau dikunjungi lagi," terang Suyatmi beralasan.
Masyarakat migran yang memiliki profesi jamak sebagai pemetik teh di Solok Selatan memang membentuk komunitas tersendiri. Suyatmi sendiri mengaku tinggal di komplek perkebunan Mitra Kerinci di Sei Beremas yang terletak di kaki Gunung Kerinci, tempat ia mengadu nasip sebagai pemetik daun teh. Komunitas yang homogen itu membuat Suyatmi tidak kehilangan dengan identitas budaya di negeri asalnya. Kepada sesama temannya sebagai pemetik daun teh, Suyatmi begitu fasih berbicara dalam bahasa Jawa.
Sudah jamak pula agaknya, komunitas migran ini mencari penghasilan dengan bekerja di berbagai perkebunan. Selain adanya perkebunan teh berskala besar di Solok Selatan, di daerah ini juga banyak terdapat perkebunan kelapa sawit dan karet.
Suyatmi sendiri sebenarnya baru melakoni profesi sebagai pemetik daun teh baru sembilan tahun. Pekerjaan itu baginya cuma sebagai pengisi waktu luang. Suyatmi memiliki suami yang kini bekerja di Bengkulu yang menjadi penopang utama ekonomi keluarganya. "Daripada duduk-duduk di rumah, kan lebih baik kerja di perkebunan. Bisa menambah uang dapur," ujar Suyatmi.
Kalau dihitung-hitung, penghasilan sebagai pemetik daun teh tidaklah seberapa. Cerita Suyatmi, satu kali gajian, dia hanya menerima penghasilan Rp150 ribu. Dalam sebulan dia menerima gaji sebanyak dua kali. Jadi, tidak lebih Rp300 ribu sebulan.
Penghasilan sebagai pemetik teh dihitung dari banyaknya daun teh yang bisa dipetik. Suyatmi mengaku rata-rata setiap hari bisa memetik 30-40 kg. Setiap kg petikkan daun teh dihargai Rp4.000, itupun dengan catatan kalau kualitas petikkannya bagus. Bagaimana petikkan yang bagus itu? " Metik bagus itu kalau daunnya bercabang tiga," ungkap Suyatmi.
Memetik teh agaknya sudah menjadi pola mata pencaharian bagi komunitas migran di Solok Selatan. Tidak mengherankan, tidak ada canggung untuk melakoni pekerjaan itu oleh semua tingkatan usia di sana. Ninik, contohnya. Perempuan muda itu tak merasa canggung setiap hari pergi perkebunan dengan keranjang rotan di pundaknya. Rata-rata, pekerja pemetik daun teh adalah perempuan.
Ninik mengaku tidak perlu menghabiskan waktunya seharian di kebun teh. Setiap hari, pekerjaan memetik dilakoninya dari pukul delapan pagi hingga siang menjelang. "Itu, timbangannya sudah datang," ujar Ninik menunjuk dua truk yang parkir di pinggiran kebun tempatnya memetik.
Ninik dan beberapa perempuan pemetik lainnya bergegas menghitung hasil petikkannya hari itu. Salah seorang di antara mereka sibuk mencatat di sebuah buku yang dibawanya. Selesai daun teh dinaikkan ke atas truk, Ninik dan rekan-rekannya sudah berlalu menuju rumahnya yang tak seberapa jauhnya. Pekerjaannya memetik daun teh selesai hari itu, dan kelihatannya pekerjaan yang sangat sederhana sekali. Namun, jangan pernah bayangkan bagaimana Ninik dan perempuan pemetik daun teh lainnya melatih kecepatan dan ketepatan dalam memetik. A.R. Rizal
Dari logat bicaranya, jelaslah kalau Suyatmi itu berasal dari tanah seberang. Namun, sebenarnya perempuan yang sudah dikaruniai tiga orang putra itu lebih kuat keminangannya. Bagaimana tidak! Dia dilahirkan dan dibesarkan di tanah Minang. Sebagian besar hidupnya sudah dihabiskan di negeri ini, sehingga dia tidak bisa lagi mencari jejaknya di kampung halamannya, tanah Jawa.
Suyatmi adalah salah satu cerita tentang perempuan pemetik daun teh di Solok Selatan. Di kabupaten yang baru dimekarkan itu, kebun teh memiliki sejarah panjang dan bahkan lebih tua dari umur republik ini. Bagitupun sejarah hidup Suyatmi dengan Ranah Minang.
Berpuluh tahun lalu, orangtuanya hijrah dari tanah seberang untuk menjadi pemetik teh. Suyatmi kemudian dilahirkan dalam lingkungan masyarakat migran pemetik teh di Solok Selatan. Kalau ditanya kepada Suyatmi sekarang tentang harapannya untuk kembali ke kampung halamannya yang pertama, perempuan itu mengaku tidak terlalu berharap. "Kalau balikpun ke Jawa, tak ada keluarga yang mau dikunjungi lagi," terang Suyatmi beralasan.
Masyarakat migran yang memiliki profesi jamak sebagai pemetik teh di Solok Selatan memang membentuk komunitas tersendiri. Suyatmi sendiri mengaku tinggal di komplek perkebunan Mitra Kerinci di Sei Beremas yang terletak di kaki Gunung Kerinci, tempat ia mengadu nasip sebagai pemetik daun teh. Komunitas yang homogen itu membuat Suyatmi tidak kehilangan dengan identitas budaya di negeri asalnya. Kepada sesama temannya sebagai pemetik daun teh, Suyatmi begitu fasih berbicara dalam bahasa Jawa.
Sudah jamak pula agaknya, komunitas migran ini mencari penghasilan dengan bekerja di berbagai perkebunan. Selain adanya perkebunan teh berskala besar di Solok Selatan, di daerah ini juga banyak terdapat perkebunan kelapa sawit dan karet.
Suyatmi sendiri sebenarnya baru melakoni profesi sebagai pemetik daun teh baru sembilan tahun. Pekerjaan itu baginya cuma sebagai pengisi waktu luang. Suyatmi memiliki suami yang kini bekerja di Bengkulu yang menjadi penopang utama ekonomi keluarganya. "Daripada duduk-duduk di rumah, kan lebih baik kerja di perkebunan. Bisa menambah uang dapur," ujar Suyatmi.
Kalau dihitung-hitung, penghasilan sebagai pemetik daun teh tidaklah seberapa. Cerita Suyatmi, satu kali gajian, dia hanya menerima penghasilan Rp150 ribu. Dalam sebulan dia menerima gaji sebanyak dua kali. Jadi, tidak lebih Rp300 ribu sebulan.
Penghasilan sebagai pemetik teh dihitung dari banyaknya daun teh yang bisa dipetik. Suyatmi mengaku rata-rata setiap hari bisa memetik 30-40 kg. Setiap kg petikkan daun teh dihargai Rp4.000, itupun dengan catatan kalau kualitas petikkannya bagus. Bagaimana petikkan yang bagus itu? " Metik bagus itu kalau daunnya bercabang tiga," ungkap Suyatmi.
Memetik teh agaknya sudah menjadi pola mata pencaharian bagi komunitas migran di Solok Selatan. Tidak mengherankan, tidak ada canggung untuk melakoni pekerjaan itu oleh semua tingkatan usia di sana. Ninik, contohnya. Perempuan muda itu tak merasa canggung setiap hari pergi perkebunan dengan keranjang rotan di pundaknya. Rata-rata, pekerja pemetik daun teh adalah perempuan.
Ninik mengaku tidak perlu menghabiskan waktunya seharian di kebun teh. Setiap hari, pekerjaan memetik dilakoninya dari pukul delapan pagi hingga siang menjelang. "Itu, timbangannya sudah datang," ujar Ninik menunjuk dua truk yang parkir di pinggiran kebun tempatnya memetik.
Ninik dan beberapa perempuan pemetik lainnya bergegas menghitung hasil petikkannya hari itu. Salah seorang di antara mereka sibuk mencatat di sebuah buku yang dibawanya. Selesai daun teh dinaikkan ke atas truk, Ninik dan rekan-rekannya sudah berlalu menuju rumahnya yang tak seberapa jauhnya. Pekerjaannya memetik daun teh selesai hari itu, dan kelihatannya pekerjaan yang sangat sederhana sekali. Namun, jangan pernah bayangkan bagaimana Ninik dan perempuan pemetik daun teh lainnya melatih kecepatan dan ketepatan dalam memetik. A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar