Jumat, Desember 28, 2007

Kuliah sambil Kerja, kenapa ngga’?

MEMASUKI akhir perkuliahan, mahasiswa dihadapkan pada mata kuliah yang berhubungan dengan pengabdian masyarakat. Di beberapa perguruan tinggi, kuliah kerja nyata memang bukan lagi menjadi pilihan satu-satunya, mahasiswa akhir bisa memilih magang di dunia usaha. Kalau dihitung persentase, agaknya lebih banyak yang milih magang. Alasannya, biar memiliki bekal memasuki dunia kerja yang sebenarnya. Alasan yang sah-sah saja, namun untuk merasakan dunia kerja tidak harus menunggu sampai akhir kuliah. Pilihannya, ya kuliah sambil kerja!
Kuliah sambil kerja bagi sebagian mahasiswa memang bukan pilihan yang populis. Banyak yang gamang untuk mencoba, alasannya takut akan mengganggu perkuliahan. Alasan ini bisa saja dibenarkan, dan itu cocok untuk mahasiswa yang berpikiran sempit, tidak punya daya juang, kalau boleh dibilang lemah semangat hidup. Padahal, realitasnya banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak banyak manfaatnya. Pacaran, kongkow-kongkow, sudah jadi rahasia umum, wacana ilmiah adalah dunia yang justru tak identik dengan kehidupan sebagian besar mahasiswa.
Tujuan akademis dan tuntutan mencari pekerjaan adalah dua sisi yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kampus. Bahkan sudah menjadi stigma di kalangan mahasiswa, bahwa kuliah lebih banyak karena alasan agar bisa mendapatkan pekarjaan yang layak. Realitas ini seharusnya tidak harus mempertentangkan antara tuntutan akademis, menjadi seorang intelektual dengan tujuan profesi, mendapatkan penghasilan yang layak. Keduanya sebenarnya bisa disinergikan tanpa harus mengorbankan salah satunya. Bahkan, ketika keduanya berjalan dengan seimbang, bagi mahasiswanya sendiri adalah nilai plus.
Bagaimanapun juga, usai menempuh pendidikan, mahasiswa harus memasuki yang namanya dunia kerja. Memang tidak harus selalu berbanding lurus dengan latar akademis yang dimiliki, yang namanya kerja mau tak mau harus dilakoni untuk bisa menyambung hidup. Nah, apa salahnya, kalau jiwa kerja itu diasah sejak dini. Bagi mahasiswa sendiri, kuliah sambil kerja akan memberikan dampak positif secara ekonomis. Kasarnya, daripada sibuk-sibuk mikirin kenaikan biaya kuliah yang tak bisa terbendungi, lebih baik menambah penghasilan sendiri yang nantinya bisa menjawab kebutuhan biaya kuliah itu.
Melihat kebutuhan ekonomi dan kebutuhan aktualisasi diri, antusiaisme kuliah sambil kerja bagi sebagian mahasiswa sangatlah besar. Namun, mereka yang antusias ini terbentur pada pertanyaan harus melakoni pekerjaan apa. Cerita tentang sempitnya lapangan pekerjaan selalu dijadikan alasan klasik. Benarkah lapangan pekerjaan itu tidak ada sama sekali?
Persoalannya ternyata terletak pada persepsi dalam memandang pekerjaan. Sudah jamak, bahkan itu menjadi semacam berhala pemahaman di kalangan mahasiswa, bahwa pekerjaan selalu diidentikan dengan mencari penghasilan di kantor-kantor, terutama kantor pemerintahan. Pemahaman ini yang harusnya dibongkar dalam benak mahasiswa, terutama bagi mereka yang memilih untuk kuliah sambil kerja.
Sektor-sektor informal dan non-formal selama ini tidak menjadi pilihan bagi mahasiswa. Ada rasa malu, rendah diri untuk memasuki sektor tersebut. Padahal, sebenarnya sektor informal dan non-formal inilah lapangan pekerjaan yang paling menjanjikan. Menjanjikan dalam artian secara ekonomis bisa menghasilkan lebih banyak, soal kepraktisan, tidak terlalu menyita waktu, sehingga mahasiswa masih bisa mengkonsentrasikan diri terhadap kuliah. Dan yang lebih penting lagi, pekerjaan di sektor informal dan non-formal ini dalam aktualisasi diri lebih mengasah kemampuan bisnis, kepemimpinan hingga kemandirian sebagai modal dasar kesuksesan hidup bagi mahasiswa di masa depannya.
Untuk memasuki lapangan kerja informal dan non-formal, mahasiswa harus terlebih dahulu membongkar pemahamannya atas eksistensi pekerjaan. Rasa malu, minder, rendah diri adalah hal pertama yang harus dibuang jauh-jauh. Selebihnya, tinggal keberanian memulai dan sedikit sentuhan kreativitas dan inovasi.
Banyak mahasiswa yang memilih lapangan kerja informal dan non-formal untuk mengatasi masalah ekonominya. Ada yang membuka privat rumahan, yang sedikit punya tabungan buka warung makan kecil-kecilan, bahkan ada yang melakoni jualan kerupuk singkong ke warung-warung. Banyak peluang usaha, tinggal keberanian untuk menangkapnya. Bagi mereka yang punya bakat unik, menjadi penulis free line, beternak, hingga menjadi guru mengaji cukup memberikan penghasilan yang menjanjikan. Teorinya sederhana sekali, bakat dan hobbi bisa dioleh menjadi aktivitas ekonomi yang menjanjikan. Tentunya, menjadi manusia yang paling tidak beruntung kalau ada mahasiswa yang tidak mengenali bakat dan kemampuannya sendiri. Tidak zamannya lagi memparadokskan kepentingan akademis dengan kebutuhan mencari penghasilan. Perkembangan zaman yang sarat persaingan di segala bidang menuntut mahasiswa melakoni multi peran. Kalau tidak ingin tergilas persaingan, maka sejak awal harus berani membekali diri dengan berbagai potensi. Mahasiswa itu adalah fase dimana secara kepribadian tidak ada lagi stigma tentang kegamangan, kemalasan, ketakutan, hingga kebodohan. Saatnya melakukan banyak hal yang bermanfaat untuk aktualisasi diri. Kalau tidak berani untuk memulai, mati sajalah dimakan cacing! o A.R. Rizal

Tidak ada komentar: