Jumat, Desember 28, 2007

Sarjana Ijazah

TEORINYA sederhana, dimana ada kebutuhan, disitulah ada pasar. Bagi banyak orang, gelar adalah kebutuhan, terutama bagi kalangan PNS, karena hitung-hitungannya adalah pangkat dan jabatan. Hingga, tiba pula musim sertifikasi, guru-guru harus sarjana, maka beramai-ramailah mereka berkuliah. Perguruan tinggi kemudian tidak hanya diserbu, namun perguruan tinggipun ramai-ramai menyerbu mereka.
Cerita menjamurnya perguruan tinggi swasta, bahkan sampai ke pelosok kampung seharusnya menjadi cerita indah dunia pendidikan. Tidak zamannya lagi kuliah menjadi miliknya orang-orang kota, orang kampungpun berhak jadi anak kuliahan. Namun, cerita itu berubah menjadi mimpi buruk ketika kualitas pendidikan di PTS-PTS itu, mulai dari sarjana yang dilahirkan, hingga keabsahan ijazah yang dikeluarkan dipertanyakan. Tentu saja ini akhirnya menjadi sebuah pertaruhan besar bagi PTS sebagai institusi pencetak manusia intelektual di tengah gencarnya arus komersialisasi pendidikan. Kalau kampus kemudian menjadi sekadar sebagai pabrik pencetak ijazah, itu tentunya sama dengan pembodohan, sebuah misi yang jauh bertentangan dengan Tut Wuri Handayani.
Bukannya kampus-kampus pabrikan ini tidak pernah ditertibkan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui surat edaran nomor 861/D/T2006 jauh-jauh hari telah melarang "kelas jauh", di mana kampusnya tak berwujud, perkuliahannya tak berbekas dan tentunya kemudian ijazahnya tak terabsahkan. Penyelenggara pendidikan tinggi harus punya kampus, punya dosen dan tentu saja akreditasi yang diakui lembaga akreditasi yang berkompeten. Namun, karena hukum ekonomi tadi, kampus-kampus gelap itu tetap saja terang dalam pemberitaan. Tentu saja tidak ada yang mengaku dirugikan akan keberadaannya, karena tak ada yang kuat tercap malu berkuliah tidak jelas jundrungannya.
Ini kemudian berhenti sebagai persoalan mental masyarakat negeri ini yang mau serba gampangan, hingga soal menuntut ilmupun mau digampang-gampangkan. Karena mau gampangan inilah, banyak yang rela kuliah di PT yang serba apa adanya, tak ingin disebut kampus gelap, ada yang berkampus di bekas SD tak terpakai, hingga gubuk-gubuk bekas pondok pesantren yang kehabisan santrinya. Toh, mereka yang mau gampangan itu tidak sebenar-benarnya kuliah di gubuk-gubuk tersebut. Yang penting, ujung-ujungnya, ijazahnya itu lho! Dibilang sarjana lagi!
Bagaimanapun, pendidikan itu adalah kebutuhan. Kalau kemudian menjadi sebuah prestise, itu hal yang lumrah, karena agamapun mengajarkan menuntut ilmulah sampai ke negeri Cina. Orang yang berilmu itu akan ditinggikan derajatnya setingkat dari orang-orang yang tidak berilmu. Dan sebenarnya ilmu itu, salah satunya didapat dari institusi pendidikan, walaupun orang-orang di sana tidak sepenuhnya berkeinginan menuntut ilmu.
Namun, pragmatisme masyarakat yang terbiasa dengan budaya gelar, budaya ijazah, membuat misi besar pendidikan mencerdaskan terbelenggukan. Bagi banyak orang, gelar adalah status, hingga pergi ke Mekah pun untuk menunaikan rukun Islam yang sebenarnya sudah menjadi kewajiban harus dituliskanpun dengan gelar haji. Bagi sebagian orang lagi gelar adalah cara untuk mendapatkan kedudukan yang ujung-ujungnya adalah duit.
Bagi institusi profesional, ijazah dan gelar mungkin bukan faktor utama dalam memilih sumber daya manusianya. Itu hanya syarat dasar, sehingga mereka punya seleksi yang berlapis untuk menguji kompetensi SDM-nya itu. Namun, dalam tubuh birokrasi pemerintahan tentu saja ini belum berlaku. Gelar otomatis adalah kenaikkan pangkat. Maka, berlomba-lombalah mereka mencari gelar tanpa ada keinginan memperbaiki kompetensi dirinya. Ditambah lagi musim sertifikasi profesi. Guru-guru berlomba mencari gelar. Sebagian mereka ada yang sedikit idealis, tak ingin meninggalkan anak-anak didiknya untuk kuliah di kota-kota, maka kuliahlah mereka di tempat antah barantah. Ironis memang, karena di waktu yang bersamaan mereka mengajarkan kebohongan yang besar kepada anak-anak didiknya, bahwa ilmu itu hanyalah selembar ijazah agar dapat disertifikasi.
Tidak bisa disalahkan juga kampus-kampus pabrikan, kampus-kampus pondokan dan kampus-kampus antah barantah itu bermunculan, karena itu semata dampak dari hukum ekonomi. Selama paradigma gelar dan ijazah tak terleraikan, selama itu pula kampus-kampus itu tetap terpakaikan. Semuanya terserah Anda! A.R. Rizal

Tidak ada komentar: