Jumat, Desember 28, 2007

Dari Mada yang Berbuah "Mada"

NAKAL, kata orang kebanyakkan. Mada, orang Minang menyebutnya. Namun, lantaran "mada"-lah, lelaki ini memulai sukses di usia muda.
Ketika pagi mulai menyapa persimpangan Pasar Baru Padang, Zulfikri, begitu nama lelaki itu sudah jauh hari memulai harinya. Kesibukkan mulai di awal pagi seperti berkejaran dengan aktivitas yang super ramai di persimpangan yang sudah menjadi "kotanya" mahasiswa Universitas Andalas. " Ikolah sukonyo manggaleh di siko, banyak mahasiswa, jadi awak bisa manambah-nambah pangatahuan," ujar Ii, begitu ia dipanggil.
Keberaniannya menerjuni dunia dagang memang langkah yang berani, bahkan boleh dibilang langka di tengah kecendrungan pemuda sekarang berebut menjadi pegawai negri sipil. Tamat SMA di Lawang, Agam, ia tidak punya bekal pendidikan di bidang ekonomi. Nekadnya lagi, Ii memulai berdagang dengan modal yang dititipkan orang. Namun, berbekal "mada" itu, sedikit demi sedikit, buah manis sudah dicicipinya.
Ii mulai mengadu peruntungan di Kota Padang sejak 2003 silam. Langkah itu diambilnya setelah kenyang berkelana di rantau orang. Tahun 1997, tamat SMA, jamaknya lelaki Minang, iapun mengadu nasip di rantau. Sejumlah negri sudah dirambahnya. Kota hujan Bandung, kota pelabuhan Dumai, hingga ganasnya ibukota Jakarta. Berbagai pekerjaanpun telah dilakoninya, mulai dari buruh angkut dan lebih banyak adalah berdagang keliling. " Kalau pangalaman nan paliang bakasan tu katiko manggaleh di Dumai," ungkap lelaki yang kini genap berusia 28 tahun ini.
Kesan mendalam di Dumai itu menurut Ii karena pengalaman buruk ketika berdagang keliling di sana. Ketika itu, ia berjualan jam tangan. Kalau berjualan dari rumah ke rumah, itu terlalu biasa, namun ia menawarkan jam tangan dari pub-pub yang banyak terdapat di kota pelabuhan itu. Namanya juga pub, kehidupan di sana baru dimulai ketika malam menjelang.
Apalah yang bisa diceritakan dengan kehidupan pub, selain maraknya kekerasan ala preman pelabuhan. " Pernah awak basitangka jo preman nan sadang mabuk, karano inyo manuka tambah jamnyo nan rusak, tantu awak protes. Inyo bangih, ampiang se awak tingga namo se lai," kenang Ii.
Kerasnya kehidupan tidaklah yang membuat Ii kapok untuk menatap masa depan yang lebih baik. Sejak kecil ia memang terbilang anak yang bandel alias mada. Tanpa basa-basi, ia bercerita ketika kecil sangat malas pergi ke sekolah. Walaupun berbadan kecil, namun hasrat berkelahinya tak mudah untuk dilerai. Saking malasnya belajar, pernah gurunya berhiba hati untuk membujuk agar ia mau juga ke sekolah. " Kato ibuk tu, bialah Ii ndak baraja bagai, masuk kelas se alah mah. Dari duo palajaran, ndak dapek ciek jo," ujar Ii mengingat kata-kata guru yang tak bisa dilupakannya hingga sekarang.
Puas mengadu nasip di rantau, Ii mencoba peruntungan di Kota Padang. Rantau mungkin bukan nasib baiknya. Ikut dengan salah seorang famili, ia memulai pekerjaan sebagai penjaga toko. Walaupun terkenal mada, namun Ii sangat suka bergaul dengan siapa saja. Bermodal pergaulan itulah berujung dengan kepercayaan, sehingga ia memberanikan diri memulai usaha sendiri. Ia menyewa sebuah kedai kecil yang terletak di lokasi strategis persimpangan Pasar Baru. Bukan toko yang besar, hanya kedai PMD, menjual kebutuhan harian dan buah-buah segar.
Benar juga banyak orang bilang, rezki terbesar itu ada di jalan dagang. Belum genap setahun, kedai PMD yang dikelola Ii berkembang pesat. Ia memulai dengan omset yang cuma Rp100 ribu sehari, namun sekarang omsetnya sudah mencapai Rp2,5 juta sehari. Memulai dengan mengelola modal orang, kini Ii menjadi pemilik kedainya sendiri. Dilihat sepintas memang sangat menjanjikan, namun tentu saja semuanya tak dimulai dengan kemudahan-kemudahan.
Pukul enam pagi, Ii sudah membuka kedainya. Sepanjang hari ia melayani setiap pembeli. Tak terasa, sudah pukul 00.00 WIB, ia baru menutup kedainya. Bahkan, kalau masih ramai orang berbelanja, pukul 2 dini hari baru ia tutup. Begitulah Ii melarikan ke-mada-annya dengan ke-"mada"-an berdagang yang pantang lelah. Dulu, barang dagangannya hanya beberapa bilang, sekarang sudah sulit menghitungnya. Entah memakai ilmu apa, Ii selalu bisa mengigat harga setiap barang yang dijualnya. " Awak bisa ingek daka itu se nyo," terang Ii membuka rahasia.
Di kampungya di Lawang, Ii memang memiliki orangtua yang juga memiliki kedai. Darah dagang itu mengalir begitu saja. Kini, Ii tidak ingin tanggung-tanggung dengan usaha yang digelutinya. " Awak ingin juo punya mini market," harap pria lajang ini mengenang prospek usahanya. o A.R. Rizal

Tidak ada komentar: