Senin, Desember 31, 2007

Miskin is Style

ADA tetangga menggerutu. Yang digerutui tentangga yang lain. Cerita gerutu-menggerutu semakin seru saja ketika Pak Lurah mengirimkan aparatnya untuk mendata rumah tangga miskin yang akan mendapatkan bantuan beras dan belanja bulanan.
Gerutu tetangga itu tentu saja dimulai dari soal pendataan rumah tangga miskin, di mana ia tidak termasuk di dalamnya. Membandingkan diri dengan tetangga yang lain, ia merasa lebih pantas dilabeli rumah tangga miskin, selain tak punya sepeda motor, rumahnyapun mirip gubuk derita pula. "Ini pasti KKN lagi nih!" gerutu si tetangga berprasangka.
Ia tidak habis pikir, tetangganya yang lain yang mempunyai sepeda motor, memiliki warung, punya rumah yang bercat bagus justru mendapat label rumah tangga miskin. Di balik cat rumah yang masih baru itu ditempel sebuah stiker besar bertuliskan "rumah tangga miskin".
Labelisasi rumah tangga miskin tentu ada kriterianya. Banyak manusia yang zahirnya kaya, namun ternyata bathinnya sangatlah dhu'afa. Repotnya, mengungkap kemiskinan bathin ini yang teramat sulit dilakukan. Ujiannya adalah diri sendiri.
Pemerintah sih mau berbuat bijak, belajar dari masa yang sudah-sudah. Diberlakukannya kebijakan Bantuan Langsung Tunai sebagai kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak, orang beramai-ramai mengaku miskin. Angka kemiskinanpun membengkak tajam dalam hitungan hari.
Yang terjadi dari fenomena itu kemudian adalah banyaknya orang yang mengaku-ngaku miskin. Tidak mengherankan, dalam antrian peminta BLT, ada orang-orang tajir yang menggunakan HP berharga jutaan rupiah dan menggunakan kendaraan yang memiliki dua roda di depan dan di belakang. Kebijakan labelisasi rumah tangga miskin kemudian diambil untuk meminimalisir penyakit sosial itu, namun realitasnya jurus itu tidak mempan untuk sebagian orang.
Kemiskinan harta-benda memang menjadi persoalan dilematis bangsa ini. Itu karena hitung-hitungannya yang melebihi seperempat jumlah penduduk negeri ini. Kemiskinan harta-beda akan memicu persoalan sosial: pengangguran, tingginya kriminalitas, hingga chaos. Namun, bukankah negeri ini negeri yang kaya, pohon di tanah jadi tanaman. Ternyata, kemiskinan itu banyak ragamnya, kemiskinan bathin tentu yang paling parah. Orang tak lagi malu mengaku dan dilabeli miskin, padahal ia telah memakan sesuatu yang seharusnya menjadi hak orang-orang yang sebenarnya miskin. Mengaku miskin untuk mendapatkan bantuan, itu satu cara juga untuk hidup. Jadilah, miskin it is my life style. A.R. Rizal

Tidak ada komentar: