Jumat, Februari 29, 2008

Kompetisi Tingkat Tinggi

NAMA besar tidak selalu menjadi jaminan bagi sebuah perguruan tinggi untuk pula menjadi besar. Mengambil nama tokoh-tokoh besar sekaliber Bung Hatta atau M. Yamin, perguruan tinggi swasta di Sumbar ternyata harus pontang-panting untuk bertahan.

Ketika gelar sarjana menjadi semacam tren di tengah masyarakat, kuliah menjadi booming yang tak terelakkan. Perguruan tinggi swasta ketiban durian runtuh, calon mahasiswa rela membayar lebih mahal asal bisa kuliah dan mendapat gelar sarjana. Dengan regulasi yang ringin, perguruan tinggi papan nama bermunculan hingga ke pelosok kampung. Namun, musim itu sudah lewat. Ketika regulasi diperketat, ketika orang tak lagi percaya kuliah menjadi jaminan untuk mendapat kerja yang layak, jangankan perguruan tinggi papan nama, PTS yang sudah punya namapun harus kelimpungan.

Ada berbagai stigma dilontarkan dengan fenomena bertumbangannya PTS-PTS. Salah satu biangnya adalah dibukannya kelas ekstensi di perguruan tinggi negri. PTN dianggap telah mengambil kavling PTS. Fenomena ini sendiri muncul ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan badan usaha perguruan tinggi, sehingga PTN harus pandai-pandai mencari pendapatan sendiri untuk bisa bertahan karena subsidi pendidikan yang mulai diputus. Namun, apakah kelas ekstensi di PTN menjadi biang kerok hancurnya PTS-PTS? Logikanya, kelas ekstensi di PTN boleh dibilang sama mahalnya dengan biaya kuliah di PTS. Kalau banyak calon mahasiswa lebih memilih kuliah ekstensi di PTN, tentu ada persoalan yang lebih urgensi lagi di tubuh PTS sendiri.

Kata kuncinya hanyalah persaingan. Selama ini, iklim persaingan itu yang tidak ada, baik di PTS maupun di PTN. Mahasiswa PTN sudah terbiasa dengan subsidi, sehingga mereka tidak perlu merasa berdosa untuk kuliah sampai berbilang-bilang tahun. Kini, masing-masing PTN harus bersaing dengan kualitas agar mereka banyak digandrungi calon mahasiswa, agar mereka bisa menaikkan biaya kuliah, sehingga mereka bisa tetap bertahan.

Selama ini, iklim persaingan di PTS nyaris tidak ada. Mereka biasa mengambil dosen dari PTN dan dibayar sedikit lebih mahal. PTS dimanjakan oleh euphoria masyarakat yang gila gelar. Akibatnya, PTS sibuk berburu calon mahasiswa dengan melupakan kualitas lulusannya. Ketika banyak sarjana yang menganggur, eksistensi PTS itupun digugat.

Kini persaingan itu tidak hanya antar PTN atau PTS. Setiap perguruan tinggi itu bersaing untuk memajukan kualitas, terutama lulusannya. Kenyataan ini adalah realitas yang mau tak mau juga harus dihadapi dunia perguruan tinggi. Konsekuensi globalisasi, persaingan itu pastilah akan semakin ketat dan kompetitif. Pengelola PT seharusnya menyadari, persaingan itu tidak hanya antar PT di dalam negeri, PT-PT asing dengan kesepakatan globalisasi sebenarnya jauh lebih mengancam eksistensi mereka. Ironis, kalau PTS menuding ekstensi di PTN sebagai biang kehancuran mereka, padahal kenyataannya sekarang mereka sudah bersaing dengan lembaga pendidikan asing yang bebas membangun institusinya di tanah air dengan kualitas kelas internasional.

Dulu, Sumbar menjadi tujuan bagi calon mahasiswa dari daerah lainnya, seperti Riau, Jambi hingga Bengkulu untuk melanjutkan pendidikannya, karena di daerah ini dikenal memiliki kampus-kampus yang mampu melahirkan sarjana-sarjana hebat. Namun, sekarang calon mahasiswa itu tak lagi memilih kampus-kampus di Sumbar. Kampus-kampus di Jawa pun tak lagi mendorong minat mereka. Mereka lebih memilih kampus-kampus di luar negeri, seperti negara tetangga karena mereka menjual kualitas pendidikan bertaraf internasional. Kalau PTS atau PTN di negeri ini masih seperti katak dalam tempurung, yah siap-siap saja untuk ditinggalkan. Itu hukum alam dan hukum globalisasi yang tak terbantahkan. A.R. Rizal

Tidak ada komentar: