DI tengah rintihan korban gemba yang belum berkesudahan, Pemkab Pesisir Selatan berencana membangun masjid senilai miliaran rupiah. Belum hilang persoalan kemiskinan yang terus membangkak, Pemprov Sumbar terus menggalang dana untuk membangun masjid agung yang nilainya sangat luar biasa sebagai sebuah monumen keagamaan.
Secara politis ataupun sosio-kultural, tak ada yang menolak gagasan besar. Bahkan, yang bersikap sinisme akan dituding sebagai orang yang tak punya rasa keagamaan. Secara keagamaan, padahal gagasan besar itu masih bisa dipolemikkan. Misalnya dengan sebuah pertanyaan, apakah lebih penting membangun masjid atau islamic centre senilai miliaran ketimbang menghidupkan langgar-langar atau TPA/TPSA yang para garin dan guru mengajinya tak mendapatkan penghidupan yang layak. Sebuah masjid agung tentu tidak akan mampu mengagamakan jutaan umat Islam se-Sumbar yang berada di kampung-kampung hingga daerah terisolir. Tangan-tangan langar, surau dan musala serta masjid-masjid kecil yang mampu menyentuhnya.
Namun, tentu saja tidak akan banyak yang setuju untuk memprotes pembangunan masjid agung atau masjid-masjid megah lainnya. Siapa yang tak suka melihat simbol keagamaan yang begitu megah. Apalagi, bagi pencitraan diri sebagai orang besar, banyak yang akan merasa bangga sekali menjadi bagian dari orang yang ikut terlibat langsung dalam pembangunan tersebut. Bukan sekarang ini saja, sibolisasi budaya kolosal sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban manusia. Dalam sejarah keislaman, simbolisasi kemegahan itu perlu dicatat menjadi awal dari kehancuran peradaban Islam itu sendiri.
Di zaman Khalifah Abu Bakar Siddik, orang-orang kaya yang enggan membayar zakat diperangi. Orang-orang kaya itu lebih suka berpoya-poya denga hartanya, sehingga kehilangan rasa sensitifitas terhadap persoalan kemiskinan dan sosial. Dalam sejarah Islam juga tersebutkan kemegahan kesultanan-kesultanan Islam. Namun, sekarang kemegahan itu tinggal puing-puing yang sebagain diteliti untuk kepentingan para arkeolog. Realitasnya, dunia Islam saat ini tidak lebih sebagai inferior dari dunia Barat. Dijajah, dilecehkan, diperangi dan dimiskinkan.
Zaman kesultanan Islam di nusantara juga mencatatkan sejarah kemegahan para sultan. Begitu indahnya penyair-penyair istana menggambarkan kebesaran sultannya. Mereka menciptakan syair, gurindam untuk memuja-muji sang kerebat istana. Penyair-penyair itu kemudian menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari istana. Mereka dipelihara, diberi tempat yang dikjaya. Namun, tentu sangat sulit mencari jejek kemegahan para sultan itu saat ini.
Sejarah kebesaran raja-raja dan sultan-sultan di nusantara di masa lalu, saat ini tidak lebih sebagai cerita-cerita dongeng yang melenakan generasi saat ini. Kebesaran itu kemudian tidak ada artinya ketika dianalogikan dengan kondisi kekinian. Bangsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar