Jumat, April 04, 2008

Inspirasi M. Yunus

ENTAH terinspirasi oleh peraih nobel perdamaian dari Bangladesh, M. Yunus, pemerintah membuat langkah progresif mengucurkan kredit perbankan untuk UKM yang dijamin oleh pemerintah daerah. Tidak tanggung-tanggung, seperti yang disebutkan Gubernur Gamawan Fauzi, Rp 276 miliar dana disiapkan. Kalau dihitung-hitung, dana tersebut cukup untuk menggerakkan ribuan UKM di Sumbar yang selama ini menjadi lokomotif penggerak perenomian.
Selama ini permodalan menjadi persoalan klise yang dihadapi UKM. Bukan hal baru pemerintah telah melaksanakan berbagai program pemberian modal kepada rakyat kecil, terutama di bidang pertanian. Kebijakan itu mendapat sentimen negatif dengan kenyataan tingginya tingkat kredit macet yang harus ditanggung negara. Namun, ketika belajar dari kasus kredit macet BLBI yang mengguras triliunan uang rakyat, ternyata kredit macet untuk rakyat kecil ini tak seberapa jumlahnya. Walupun kredit macet tidak bisa dihindarkan dari kebijakan modal bagi rakyat kecil, namun setidaknya itu lebih baik karena lebih banyak rakyat kecil yang memang lebih pantas menikmati dana tersebut. Berbeda dengan kasus BLBI yang ternyata uang rakyat yang banyak hanya dinikmati segelintir konglomerat hitam yang mencuri uang bangsanya untuk ngacir keluar negeri.
Kredit tanpa anggunan untuk UKM yang digerakkan pemerintah ini memang tidak lepas dari kekhawatiran macet. Namun, inilah tantangan yang harus dihadapi oleh dunia perbankan dan pemerintah sendiri. Selama ini memang bank sangat ragu untuk mengucurkan kreditnya, syarat yang utama adalah adanya anggunan yang memang tidak dimiliki oleh UKM, sehingga mereka tidak tersentuh perbankan. UKM akhirnya lebih banyak lari ke tengkulak yang bukannya memberikan solusi, namun justru mencekik dan membunuh secara pelahan-lahan.
Untuk meminimalisir kredit macet, perbankan bertanggung jawab untuk membina UKM. Peran ini memang sangat tabu untuk dilakoni oleh dunia perbankan yang maunya cari aman, dapat untung dan kalau bisa tidak perlu kerja keras. Pembinaan dunia usaha ini sebenarnya sangat penting bagi kinerja perbankan sendiri. Bahasa kasarnya, mereka juga bisa makan apabila dunia usaha bergerak. Pembinaan ini bisa juga menjadi bagian dari Cooporate Social Responsibility-nya perbankan. CSR itu tetap dalam kerangka untuk meningkatkan daya saing UKM sendiri.
Pemerintah dalam perannya juga bertanggung jawab membina UKM. Dalam hal policy, kredit tanpa anggunan bagi UKM sudah menjadi langkah baik, namun akan lebih baik lagi kalau pemerintah jangan hanya sekadar memberi umpan. Dalam fungsinya pemerintah juga berperan membina UKM agar bisa eksis dengan kinerja yang baik.
Tentang stigma kredit macet ini, agaknya pemerintah perlu bercermin kepada apa yang telah dilakukan M. Yunus. Konglomerat Bangladesh itu rela meronggoh koceknya untuk mendirikan lembaga keuangan mikro yang langsung menyentuh rakyat miskin di Bangladesh. Begitu mudah bagi rakyat miskin untuk mendapatkan modal usaha, M. Yunus pun tidak merasa gusar kalau bantuan modal itu akan menjadi kredit macet. Namun, ternyata tingkat kredit macet itu sangat kecil. Rahasianya, ternyata sebagian besar nasabah miskin di banknya M. Yunus adalah kaum ibu-ibu. Kaum ibu-ibu ternyata lebih bisa dipercayai. Karakter Bangladesh agaknya tidak jauh berbeda dengan Indonesia atau khususnya Sumbar. Mereka yang bergerak di sektor UKM di Sumbar lebih banyak dari kaum ibu. Jadi, tak ada hal mendasar yang perlu dikhawatirkan.
M. Yunus ketika diundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyadari adanya resiko kredit macet. Namun, jiwa sosial yang menjadi pendorong utamanya menepiskan semua kekhawatirannya. Tujuan utamanya adalah memanusiakan rakyat miskin agar mereka mendapatkan harkat dan martabatnya. Atas ispirasi itulah M. Yunus diganjar dengan hadiah nobel perdamaian. Setahun sudah M. Yunus berbicara di hadapan Presiden SBY, langkah itu pelahan dimulai dan mudah-mudahan inspirasi dari kebijakan ini memang seperti insiprasi yang menggerakkan M. Yunus, bukan lantaran Pemilu 2009 sudah dekat!
Selain bantuan kredit untuk UKM, Pemprov Sumbar juga sudah menyiapkan dana ratusan juta untuk membantu permodalan bagi pedagang kaki lima. Sebuah langkah progresif lagi, karena selama ini PKL selalu mendapatkan stigma yang buruk. Ratusan juta memang jumlahnya tak banyak, namun yang penting adalah dampak psiko-ekonominya, bahwa Pemprov telah mengangkat harkat dan martabat PKL. Mereka juga manusia dan mereka berusaha untuk rezki yang halal. Selama ini PKL tidak mendapatkan harkat itu. Yang ada cuma caci maki Satpol PP, ditendang, dilecehkan, seperti binatang saja mereka diperlakukan, karena hanya binatang penggais makanan di pinggir jalan yang pantas ditendang dan diusir.
Sekarang tinggal bagaimana semua bantuan modal itu diterima secara adil dan bermanfaat bagi masyarakat. Kalau akhirnya bantuan modal itu berputar di sekitar kolega para pejabat yang mungkin pengusaha UKM atau PKL atau sengaja berpura-pura menjadi keduanya, tentu ini akan menghilangkan semangat keadilan. Apalagi, kalau bantuan modal itu diterima oleh mereka yang tidak sebenar-benarnya pengusaha UKM atau PKL, sementara ada mereka yang memang lebih pantas mendapatkannya. Sekecil apapun dana tersebut, sangatlah bijak untuk bisa diselamatkan. Namun, apapun juga stigma dan kekhawatirannya, bantuan yang menggerakkan dunia usaha adalah sesuatu yang perlu digelorakan. Kalau pemerintah sudah memulai, masyarakat yang memiliki banyak uang dan tidak tahu harus bagaimana membuatnya bermanfaat, bisa mendorong pemebentukan lembaga keuangan mikro yang mampu meringankan rakyat kecil. Idealnya, M. Yunus telah memberikan inspirasi, tentunya akan ada M. Yunus-M. Yunus yang lainnya. A.R. Rizal

Tidak ada komentar: