SITIUNG- Suasana teduh di sudut sebuah jorong di Kecamatan Sitiung Kabupaten Dharmasraya. Mendengar nama Situang 32 tahun yang lalu akan terbetik tentang kisah pahit warna pulau seberang yang pindah ke sana untuk program pemerintah bernama transmigrasi. Hutan belantara, jauh dari peradaban, hidup serba keterbatasan...Namun, itu dulu!
Sitiung I blok A, begitu dulu orang menyebutnya, daerah transmigrasi pertama di Sumbar dan tersukses di Indonesia. Kini, orang tak lagi mengenal lagi nama blok A, hutan belantara itu telah menjelma menjadi sebuah jorong bernama Piruko. Piruko, karena ada sungai kecil mengalir di sana yang disebut batang Piruko.
Jorong Piruko mirip seperti kota baru. Tak beberapa jauh dari pusat Kabupaten Dharmasraya di Pulau Punjung, kampung ini memang sudah tertata rapi. Rumahnya sudah berlantai ubin, ada yang membuat ruko, counter HP ada di sejumlah sudut. Ada mobil bagus yang diparkir di depan garase. Namun, jejak Jorong Piruko sebagai tanah harapan baru orang-orang seberang pulau tetap ada. Rumah-rumah di sana rata-rata menggunakan genteng dari tanah liat sebagai ciri rumah Joglo di Tanah Jawa.
Datang ke Jorong Piruko tidak akan dilihat sebagai orang asing yang datang dari jauh. " Merdeka, merdeka, yang marasai tetap saja..!" Begitu kata Wagiman ketika ditanya tentang hari kemerdekaan republik ini kepadanya yang sedang duduk di sebuah kedai.
Wagiman adalah warga yang pertama kali datang di blok A. Bersama ratusan KK lainnya ia mengadu nasib setelah rumahnya di kampung halamannya, Solo tergusur karena proyek waduk. " Pertama datang di sini susah sekali. Cari ubi saja sulit. Berkebun sampai tangan sakit-sakit, hasilnya terkena hama pula," ujar Wagiman mengenang awal 1977 lalu.
Memang Wagiman mendapat lahan untuk menopang hidupnya. Rumah kayu beralas tanah juga disediakan. Namun, namanya hidup di tengah hutan belantara yang baru dibuka teramatlah berat. Dari seratusan KK yang ada, sebagian besar terus bertahan, namun menurut Wagiman ada juga yang tidak tahan penderitaan dan kembali ke Tanah Jawa.
Peruntungan tidak selamanya di bawah. Kini, Wagiman kemana-mana menggunakan motor keluaran terbaru yang dibelinya. Warga yang dulu menggantungkan mata pencaharian dari perkebunan dan pertanian sudah ada pula yang sukses berdagang. Anak-anak di sana sudah banyak pula menjadi sarjana dan membuka praktek dokter di rumahnya. Namun, di antara banyak yang sukses, masih ada juga nasibnya yang jauh berubah. Beberapa buah, rumah kayu beralaskan tanah itu masih saja ada. Bagi Wagiman sendiri, di manapun berada yang terpenting ada kemauan untuk mengubah nasib. Sekarangpun hidup baginya tetap berat, seperti juga kesulitan yang dihadapi sebagian besar penghuni republik ini.
Cerita warga Jorong Piruko tak jauh berbeda bagi orang tua-tua di Nagari Sitiung. Inang ingat betul ketika hutan belantara di ujung nagarinya itu ditempati. " Awak manjojo pisang goreang di sinan. Manjua bibit buluah bagai. Apo se nan dijua, dibali di sinan mah," kenang Inang.
Ujang, lelaki tua asal Bukittinggi itu juga punya cerita yang tak jauh berbeda. Ia memang datang jauh-jauh untuk berdagang segala kebutuhan hidup di sana hingga akhirnya memutuskan menetap di masa tuanya. Dulu, ternak banyak di sana, namun sekarang mulai berkurang sejalan dengan perubahan zaman yang membawa Jorong Piruko ke pola hidup orang perkotaan.
Betapapun perubahan zaman, namun warga Jorong Piruko masih kuat juga mewariskan tradisi para leluhurnya. Kalau musim 17 Agustusan, maka di Jorong Piruko masih bisa disaksikan campur sari atau kuda kepang. Namun, pada kesempatan lain seperti acara kenduri, orgen tunggal tetap saja dipilih oleh banyak orang. A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar