KALAU bercita-cita ingin kaya, maka jadilah pengusaha. Pengusaha pastilah kaya. Jika 10 persen saja penduduk suatu negeri memilih jalan rezki sebagai pengusaha, pastilah negeri itu sejahtera.
Itu teorinya. Banyak orang yang percaya dan memakzuminya. Namun, seperti anekdot, teori tak selalu seindah kenyataan. Sudalah pengusaha di negeri ini berbilang sedikit, di antaranya juga banyak yang bernasib tidak mujur, tetap miskin, bahkan banyak yang pailit dililit hutang. Apa yang salah? Kurang moda, tak punya sumber daya alam atau tak punya nyali, semuanya tinggal alasan.
Pengusaha, bagi sebagian besar orang-orang di negeri ini adalah sebuah gelar. Gelar yang mengalahkan titel kesarjanaan, bisa jadi setara dengan doktor atau profesor, karena pengusaha kini pandai juga berbagi cerita di hadapan para mahasiswa, katanya untuk menebar virus wirausaha. Mereka kemudian membagi-bagikan bermacam kartu nama,direktur ini, direktur itu, manejer ini, manejer itu, namun entah dimana perusahaannya tiada yang tahu.
Kalau pengusaha di negeri lain kemana-mana membawa kartu cek, pengusaha di negeri ini punya kebiasaan lain membawa kemana-mana kartu namanya. Kalau pengusaha di negeri lain datang membuat usaha bermodalkan cek berisi uang, pengusaha di negeri ini banyak yang bermodal kartu nama. Apakah sebuah usaha bisa dbangun hanya dengan sebuah kartu nama? Kata orang, orang-orang di negeri ini paling pandai melobi, tapi itu tak sepenuhnya berlaku dalam dunia usaha. Dimana ada uang, di situlah ada peluang!
Sebuah realitas yang ironis di Sumbar yang banyak melahirkan para enterpeneur di perantauan, namun sebagian besar pengusaha di daerah ini dihidupkan dari proyek pemerintah. Pengusaha jasa kontruksi, pengadaan barang dan jasa sangat tergantung pada proyek-proyek pemerintah. Itu bisa dilhat dari gerak ekonomi di daerah setiap tahunnya yang sangat dipengaruhi realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daera. Terlambat saja pengesahan APBD, maka akan banyak pengusaha yang sementara waktu menjadi pengangguran.
Ketergantungan yang besar terhadap proyek-proyek pemerintah tidak mengherankan membuat pengusaha di daerah ini banyak dimanjakan. Karena itu, banyak di antara mereka yang akan mengeluh panjang terhadap berbagai regulasi yang tidak memanjakan, karena sudah terbiasa berharap dengan fasilitas-fasilitas. Tidak terbiasa dengan kesusahan, tidak mengherankan dunia usaha di negeri ini seperti malu-malu kucing, mati tak mau, untuk maju, tak jadi-jadi.
Sebagain besar pengusaha negeri ini yang menjadi besar hanya ketika telah mengadu perasaian di perantauan. Seolah sudah menjadi stigma, kalau ingin sukses, maka harus merantau. Ini sebenarnya pertanyaan besar, apakah negeri ini menjadi tempat yang tidak baik untuk membenihkan semangat entrepreneur?
Coba lihat bagaimana taipan-taipan Surabaya membangun kerajaan bisnisnya, sehingga menjadi konglomerat bertaraf nasional. Usaha-usaha multinasional muncul dengan semangat arek-arek Suroboyo, membangun gurita di seluruh nusantara. Bagaimana dengan Sumatra Barat. Boleh dihitung jari saja berapa pengusaha daerah ini yang mampu membangun jaringan usahanya bertaraf multinasional. Padahal, hanya berjualan
singkong goreng saja ada yang bisa memiliki jarangan usaha bertaraf nasional. A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar