PERNAH ngga kamu berhitung berapa banyak waktu yang kamu habiskan untuk berada di rumah atau untuk kongkow-kongkow di luar. Berapa banyak waktu kamu berada di meja belajar atau berada di meja-meja cafe sambil mendengar live music?
Gaya hidup memang tak pernah redup. Betapapun rumah-rumah modern diisi dengan berbagai perkakas, hingga alat-alat hiburan canggih, namun banyak rumah tidak bisa menjadi surga bagi penghuninya. Bagi remaja dari kalangan menengah ke atas, menghabiskan banyak waktu di luar rumah mencari sensasi berbagai hiburan sudah menjadi semacam trend. Berada di cafe, salah satu tempat favorit.
Cafe sekarang tidak hanya menyediakan menu makanan untuk mengusir lapar. Dengan berbagai veneu yang lebih atraktif, mulai dari live music, hiburan multimedia, cafe berubah menjadi sebuah tempat pencarian identitas diri. Orang datang ke cafe tak semata-mata lagi untuk mencari makanan atau minuman favorit, lebih dari itu mencari sensasi dalam hidup agar lebih berbunga.
Tidak mengherankan, banyak remaja yang menghabiskan sebagian besar hari-harinya berada di cafe. Sebagian mereka yang mungkin memiliki motif lain, seperti urusan bisnis, kerjaan, karir, berlama-lama di cafe menjadi sesuatu yang sangat berharga. Namun, sebagian besar mereka yang berada di cafe adalah sekadar membuang-buang waktu. Kalau membuat analogi dengan banyaknya kegiatan positif yang bisa dilakukan, acara buang-buang waktu itu jelas tak banyak manfaatnya.
Bagi kamu yang menjadikan aktivitas belajar sebagai sebuah kebutuhan atau banyak cara untuk menyalurkan hobi-hobi positif, bisa jadi merasa binggung juga bagaimana orang-orang bisa menghabiskan waktu berjam-jam berada di cafe, melihat pemandangan yang statis? Sebuah pilihan gaya hidup yang membosankan. Namun, bagi orangt-orang tertentu itu justru memberikan taste tertentu.
Sebagai gaya hidup, kongkow-kongkow di cafe bisa jadi lebih punya taste. Ada sentuh nilai yang mungkin menjadi sesuatu yang sangat diinginkan sebagian orang, seperti terkait dengan status sosial, ekonomi hingga sekadar basa-basi disebut sebagai remaja gaul. Cafe itu bisa menjadi sesuatu yang mencirikan status sosial, ekonomi, bahkan harga diri. Bagi sebagian orang, semua identitas itu kadang lebih berharga dari berapa pun biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkannya.
Namun, sebagai sebuah pilihan gaya hidup, bisakah kebiasaan ini dibudidayakan? Jawabannya tentulah sebuah pilihan yang mahal. Gaya hidup cafe ini hanya sebagian imbas dari kapitalisme global, cara hidup boros untuk mencari kesenangan sesaat. Yang namanya sebuah pelarian yang instan, tradisi ini juga mengalami sejarah titik nadirnya.
Coba berhitung tentang negara yang paling boros di dunia? Pasti jawabannya adalah Amerika Serikat yang merupakan bapak moyangnya kapitalisme. Sekarang kapitalisme di negeri Paman Sam itu mengalami titik nadir. Krisis ekonomi membuat rakyat Amerika menjadi masyarakat yang paling pelit di dunia. Supermarket menjadi lengang, orang-orang di sana lebih suka menyimpan dananya ketimbang membelanjakan untuk hal yang belum dibutuhkan. Krisis ekonomi telah menjadi rakyat Amerika paranoid, bahkan rela menyakiti diri sendiri untuk membunuh sehabis-habisnya hasrat berfoya-foyanya. Faktanya, banyak yang memutuskan bunuh diri karena tidak kuat menanggung beban ekonomi.
Bagaimana kalau semua itu terjadi pada diri kamu sendiri? Ketika sudah membiasakan diri hidup bersenang-senang dengan koborosan dan kesia-siaan, maka ketika tibanya kejatuhan, kamu harus memiliki tenaga ekstra untuk bisa bangkit. Namun, kesulitasn tidak akan berarti apa-apa, jika kamu sudah terbiasa menghadapinya. Karena itu, sebelum dirimu terlanjur larut dalam kehura-huraan, saatnya melepaskan diri daripada suatu saat kamu tidak bisa lagi keluar dan melepaskan diri. A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar