Sabtu, September 12, 2009

TEROR

DALAM hitungan detik, sembilan nyawa melayang dalam dua ledakan besar di Hotel JW Marriot dan Ritz Calton Jakarta. Semua mata tertuju ke kawasan elit Mega Kuningan, lokasi dua hotel mewah tersebut. Saham di Bursa Efek Indonesia langsung melemah, harga rupiah langsung jatuh, pukulan terbesar dirasakan perekonomian nasional yang sejatipun sedang "sakit" diterpa imbas krisis global.

Ada kekhawatiran yang sangat besar, teror bom Kuningan akan merembet kemana-mana. Pengamanan ekstra ketat diberlakukan di berbagai objek vital. Sangat beralasan teror bom itu memunculkan traumatik. Kasus serupa pernah terjadi. Teror bom menjadi bahasa yang begitu menakutkan. Banyak yang kemudian lupa, ada teror-teror lain yang tak kalah menakutkannya.

Badan kesehatan dunia, WHO mencatat beberapa bulan merebaknya kasus flu babi, sudah 700 orang korban jiwa melayang di seluruh dunia. Di Indonesia, penyebaran virus asal Mexico itu nyaris sudah menyentuh sebagian besar pulau-pulau di Tanah Air. WHO belum bisa mengendalikan virus mematikan ini. Teror hidup ini jauh lebih mematikan dari teror yang ada.

Teror hidup lainnya yang sering diabaikan banyak orang, padahal tiap tahun ia menebar kematian dan ia ada di sekitar kita. Genangan air di selokan rumah Anda, bisa jadi ia akan menjelma menjadi DBD yang tiap tahun selalu merenggut banyak nyawa. Musim pancaroba, menjadi momentum pengulangan siklus korban DBD. Banyak yang lupa, rumah sakit hingga Puskesmas selalu ramai dengan pasien DBD dan pasien endemi lainnya yang disebabkan nyamuk. Tak ada ruang yang lepas dari teror serangga kecil ini.

Dari semua teror itu, teror yang diciptakan manusia jauh lebih dahsyat dampaknya. ILO mencatat jutaan pengangguran intelektual di Indonesia. Di Sumatra Barat, lebih dari seratus ribu lebih. Kalau pengangguran berhenti sebagai orang-orang tidak produktif, masalahnya tidak akan teramat rumit. Namun, pengangguran menjadi persoalan sosial yang memunculkan kerawanan lainnya.

Pengangguran adalah masalah produktivitas. Orang-orang yang tidak produktif menjadi beban sosial bagi lingkungannya. Menjadi beban ekonomi, menjadi beban psikologis. Pada fase tertentu, pengangguran menjelma menjadi karawanan sosial, penyebab merebaknya kriminalitas hingga konflik sosial. Pengangguran menjelmakan kemiskinan. Ia menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Dan dampaknya itu lebih besar dari apa yang bisa dibayangkan.

Teror bom hingga teror flu babi bisa jadi mengambil alih isu-isu besar di tengah masyarakat. Mungkin ia akan menjelma sebagai sebuah skenario pengalihan isu sosial di tengah masyarakat. Namun, itu tidak harus membuat masyarakat negeri ini melupakan atau bahkan lalai dengan persoalan-persoalan yang lebih krusial. Itu, bisa jadi adalah teror yang lebih nyata dan mematikan.

Melindungi objek-objek vital dengan pengamanan ekstra ketat, itu penting. Namun, itu tidak jauh lebih penting dari realitas buruknya fasilitas yang disediakan negara untuk kebutuhan vital warganya. Ada ribuan sekolah yang buruk yang memaksa murid-muridnya putus belajar di tengah jalan. Mereka akan menjadi anak-anak yang bodoh dan tidak punya harapan di masa depan. Apa jadinya mereka, sepuluh atau duapuluh tahun ke depan, sebagian mungkin karena nasib bisa menjadi orang yang berhasuil. Namun, sudah dapat dipastikan sebagian besar dari mereka akan menjadi pecundang atau bahkan seorang kriminal. Ini teror yang lebih nyata tentang masa depan negeri ini.

Ada ratusan rumah sakit dan pelayanan kesehatan pemerintah yang jauh dari kelayakan, baik dari sisi pelayanan maupun sarana prasarana. Itu berarti lebih banyak lagi warga yang tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang manusiawi. Dengan pelayanan kesehatan yang tidak memanusiakan itu, setiap hari, setiap jam, atau mungkin setiap detik ada nyawa-nyawa melayang karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Banyak nyawa melayang karena hanya alasan ketiadaan biaya berobat. Ini teror yang lebih mematikan yang bisa dirancang oleh seorang teroris kelas kakap sekalipun.

Persoalan kemiskinan, diskriminasi, kesenjangan sosial, kebodohan hingga memudahkan doktrinisasi, sesunggunya menjadi teror yang lebih mematikan. Itulah teror sebenarnya yang memicu segala teror yang bisa diciptakan manusia. Dan teror itu ada di sekitar kita.****

Tidak ada komentar: