SEBUAH rumah bercat kuning tua, terlihat kurang terawat dari luar. Di dinding depan rumah itu tertempel sebuah tulisan di atas kertas "dijual". Beberapa detik kemudian, sorot kamera berhenti lama pada sebuah tulisan kaligrafi berwarna hijau tentang "Allah". Inilah gambaran sebuah stasiun televisi swasta nasional tentang rumah pelaku bom bunuh diri di Hotel Marriot, Dani Dwi Permana.
Apa yang dibayangkan orang-orang ketika menyaksikan ilustrasi visual itu? Sebuah visualisasi yang aktual, faktual sekaligus dramatis untuk menggambarkan tentang seorang teroris. Namun, ketika sorot kamera berhenti beberapa saat di kaligrafi "Allah", simbol keagungan dan kengerianpun dibenturkan. Sebuah kaligrafi yang agung, ketika bias dalam sebuah visualisasi tentang terorisme, seketika menjadi sebuah kengerian. Asumsi orang ketika melihat visualisasi itu adalah kaligrafi "Allah" identik dengan terorisme, sebuah simbol teror dan kengerian.
Bukan pertama kali media massa sangat "keterlaluan" dalam memberitakan tentang terorisme. Contoh lain, betapa seorang presenter berita di sebuah televisi swasta menyebut nama gembong terorisme di Indonesia Noordin M. Top dengan lengkap Noordin "Muhammad" Top. Memang demikianlah nama sang teroris. Namun, ketika nama "Muhammad" disebut berulang-ulang, keagungan nama "Muhammad" berbenturan dengan kengerian terorisme. "Muhammad" yang agung kemudian seolah identik dengan teroris! Fakta terbaru adalah, sebuah judul besar di sebuah media cetak nasional "Ustad Saefuddin Jaelani", nama yang ditulis untuk tersangka teroris yang merekrut calon pelaku bom bunuh diri.
Muhammad, kaligrafi Allah hingga ustad adalah nama-nama dan simbolisasi yang agung di dalam Islam. Secara makna juga sangat fundamental dan prinsipil. Muhammad merujuk kepada nama Nabi Muhammad saw. Kaligrafi Allah adalah simbol yang agung. Ustad berarti guru, orang-orang yang mengajarkan Islam dengan kebenaran dan keagungannya. Tidak begitu saja orang yang mendakwahkan Islam itu disebut ustad. Namun, bias di media massa telah memunculkan anasir yang buruk, ketika Muhammad, kaligrafi Allah hingga ustad menjadi simbol terorisme, simbol kekejian dan kekejaman.
Benarkah Islam, agama yang mengajarkan kekerasan? Noordin M. Top, bukanlah orang yang mengajarkan rahmatin lil alamin seperti yang diajarkan Rasulullah saw. Dan Noordin bukanlah orang yang pantas dipangguil "Muhammad" karena namanya. Kaligrafi Allah adalah simbol yang agung, ia ada di tempat sujud, sehingga ketika berada di rumah pelaku bom bunuh diri Dani Dwi Permana, bukan berarti ia bermakna sebagai simbol kekerasan dan teror. Ustad adalah orang-orang yang mendakwahkan Islam dengan ilmu dan Saefuddin Jaelani yang merekrut orang-orang untuk melakukan teror keji tak pantas dipanggil ustad, ia bukanlah seorang ustad.
Fenomena terorisme di Tanah Air seperti tidak terlepas dari bias yang diciptakan Barat, terutama Amerika Serikat. Pasca tragedi WTC, AS menerapkan kebijakan yang keras terhadap negara-negara muslim. Stigma yang buruk tentang Islam sebagai teroris oleh Presiden AS ketika itu, Goerge W. Bush membuat umat Islam di negara itu termarginalkan, didiskriminasikan, bahkan diperlakukan tidak manusiawi. Sampai hari ini AS masih menerapkan kecurigaan yang buruk tentang muslim. Muslim pantas dicurigai sebagai teroris, orang yang paling berbahaya.
Bias ini terus terjadi dalam pemberitaan tentang terorisme. Masjid begitu gampang dikutip sebagai tempat bagi Saefudin Jaelani merekrut para pelaku bom bunuh diri. Jadilah masjid sebagai "sarang teroris". Beginikah cara media massa atau masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim menafsirkan agamanya sendiri? Padahal, sudah jelas, teorisme itu kejam, kejahatan dan itu bukan cara-cara yang diajarkan agama Islam. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar