SEORANG anak perempuan ditemani orangtuanya diajak sang ibu berbelanja ke sebuah pasar tradisional. Di tengah terik, di hamparan lalu-lalang orang-orang, si ibu mengajak anak gadisnya itu memilih bahan belanjaan. Si anak mencoba menangkap ikan mas dari tumpukkan ember pedagang. Sulitnya minta ampun, si anak malah semakin penasaran. Gerah bercampur kesal karena tidak mampu menangkap ikan mas, si anak malah penasaran untuk kembali ke pasar tradisional. Satu, dua, tiga kali, si anak justru menikmati petualangannya di pasar tradisional.
Itulah penggalan kisah yang menjadi alur sebuah iklan produk sabun mandi yang ditayangkan berbagai televisi swasta. Sebuah pemandangan yang sederhana, namun teramat langka bagi kehidupan ala kota yang semakin disesaki hipermarket. Sebuah pemandangan yang tidak cukup memeliki nilai estetika bagi mereka yang dibesarkan dalam hingar-bingar metropolitan, namun kesederhanaan itu memberikan pengalaman yang berharga bagi pertumbuhan anak untuk bisa berkembang secara alamiah.
Kisah dalam iklan sabun mandi itu mungkin masih terjadi di berbagai daerah di tanah air. Namun, di beberapa tempat, terutama daerah perkotaan, pemandangan itu teramat langka. Pasar-pasar tradisional, di beberapa tempat tinggal sejarah tempo doeloe. Pasar itu tergusur dengan menjamurnya mall, supermarket hingga hipermarket. Bukan sebuah kenyataan yang mengada-ngada, namun sudah menjadi kekhawatiran banyak kalangan.
Departemen Pekerjaan Umum terakhir bahkan meminta pemerintah menghentikan izin baru bagi munculnya toko modern. Permintaan itu didasari kekhawatiran kehadiran toko-toko tersebut semakin menggusur keberadaan pasar tradisional. Sebagai sebuah pembelaan ekonomi, permintaan itu sangat beralasan. Kehadiran mall, supermarket, hipermarket dan toko-toko modern ini merupakan bagian dari kapitalisasi ekonomi. Tempat berbelanja super mewah itu dalam kenyataannya dimiliki oleh sebagian kecil warga negara yang kebetulan memiliki modal besar. Pendirian tempat-tempat itu adalah suatu upaya untuk menguasai sumber-sumber ekonomi. Ironis, kalau sumber-sumber ekonomi itu akhirnya hanya dikuasai oleh segelintir orang.
Pasar tradisional selama ini merupakan candra di muka ekonomi masyarakat. Di sana banyak orang yang berusaha dan umumnya dari kalangan menengah ke bawah. Tentu saja, eksistensinya telah menghidupkan banyak jiwa, banyak nyawa yang bergantung kepada pasar tradisional. Kalau pasar-pasar itu tergusur, banyak jiwa yang kehilangan lapangan pencaharian, banyak jiwa yang akan menjadi pengangguran dan itu berarti adalah bom waktu yang akan meledakkan berbagai persoalan sosial dan kemanusiaan.
Pasar ternyata tidak hanya berhenti sebagai persoalan ekonomi. Cerita iklan sabun mandi di atas mendeskripsikan betapa pasar juga menjadi wadah terjadinya proses pendidikan non-formal. Pasar tradisional mengajarkan kepada anak tentang kesederhanaan, interaksi sosial, keberagaman, petualangan bahkan tantangan. Pasar tradisional mengajarkan tentang jiwa berdagang, sebuah training motivasi yang tak bisa diberikan enterpreneur kelas wahid yang belakangan sering ceramah wara-wiri di hotel berbintang. Pasar tradisional adalah sebuah miniatur sosial. Ada banyak nilai, ada banyak falsafah, pasar tradisional adalah bagian dari budaya, bahkan pasar tradisional itu sendiri adalah kebudayaan.
Cerita tentang interaksi sosial, tentu tidak akan ditemukan di mall-mall. Bagaimana tidak, di mall tidak bisa menawar, karena semuanya sudah ditentukan dengan label. Tak ada falsafah dagang, karena mall hanya membesarkan pramuniaga yang digaji atas jasa pelayanannya tiap bulan. Tak ada nilai-nilai, karena di mall yang ada adalah orang-orang yang siap menghabiskan uangnya untuk hasrat memburu barang-barang atau lebih tepat sekadar untuk memburu merek-merek dagang. Ironis memang, pasar tradisional dimatikan, sementara banyak orang yang menyadari perekonomian negeri ini digerakkan oleh orang-orang kecil yang berusaha di pasar-pasar tersebut. A.R. Rizal
1 komentar:
yo lah zal...
Posting Komentar