Senin, November 26, 2007

Burung Kertas

PAGI itu terlalu dini untuk membuka mata. Namun, Rani tidak bisa lagi melanjutkan tidurnya. Mimpi indahnya sepanjang malam terusik dengan suara berisik dari halaman depan rumahnya.
Rani bangun dari pembaringannya. Kakinya terasa berat untuk dilangkahkan menuju jendela kamar. Dengan pandangan yang masih sayu, Rani membuka jendela selebar-lebarnya. Ops, ada tamu tak diundang pagi itu.
Mama sedang bercengkrama dengan Tante Fe di halaman depan. Tante Fe adalah tetangga baru Rani. Bersama suami, Om Sam dan seorang putrinya bernama Sisi, Tante Fe baru saja pindah tiga hari lalu. Kelihatnnya Tante Fe orangnya baik. Dia bercengkrama akrab sekali dengan mama. Om Sam juga kelihatannya bersahabat. Dia sama seperti papa Rani yang banyak disibukkan dengan pekerjaan di kantor. Soal Sisi, Rani belum melihat sosok putri tunggal Tante Fe itu.
"Ayo Rani, Tante Fe-nya disapa dong!" Mama memanggil Rani yang baru saja menampakkan wajahnya dari balik jendela kamar yang terletak di lantai dua.
Tante Fe menyambung dengan lambaian tangan. Rani membalas lambaian. "Pagi, Tante Fe!" ujarnya dingin karena belum habis sisa kantuk di wajah Rani.
Sebenarnya hari itu Rani ingin bangun agak siangan. Maklum, kan hari Minggu, tidak sekolahan. Namun, tentu saja Tante Fe tidak menjadi tamu tak diundang pagi itu. Ketika membuka jendela, sebuah mainan berbentuk burung yang terbuat dari kertas jatuh di kakinya. Burung kertas itu tak utuh lagi bentuknya. Sayap-sayapnya sudah lusuh, mungkin terkena embun sepanjang malam tadi. "Ah, siapa sih yang iseng!" guman Rani kesal.
Rani membuang burung kertas itu ke keranjang sampah di halaman belakang. Kalau sampai kedapatan barang-barang berserakkan di kamarnya, mama pasti akan mengomel seribu kata. "Ran, kalau sudah selesai mandinya, jangan lupa beresin kamar!" Mama memanggil dari ruang tengah.
Yaps, nyaris kan! Rupanya mama sudah selesai dengan acara kenal-kenalan sama Tante Fe. Selesai bersih-bersih tempat tidur, Rani siap menyambut hari dengan keceriaan. Sepanjang hari, dia punya banyak waktu bermain dengan teman-temannya yang akan datang silih berganti.
"Hai, Ran!" Si gemuk Ririn datang lebih awal. Ririn yang tinggal satu blok dengan rumah Rani itu langsung duduk rapi di tempat favoritnya: di sebelah mama di meja makan. Mama akan berulang kali menyuguhkannya kue dan buah.
Selesai acara makan-makannya bersama mama, Ririn sudah berada di kamar Rani. Rani pun menyusul menuju ke kamar. " Wah, kamu pintar juga ya bikin burung kertas," Ririn menyela ketika Rani baru saja menampakkan wajah di depan pintu kamar.
Kontan saja Rani terkaget. " Ngga' kok, bukan aku yang bikin," Rani menjawab agak gugup. Rasa terkejut dan penasaran berkejamuk di kepalanya. Tidak hanya satu burung kertas, Ririn sedang memainkan dua burung kertas di kedua belah tanggannya.
Swap, swap, swap...! Ririn meliuk-liukkan tubuhnya mengeliling setiap sudut kamar. Ia menirukan seorang pilot yang sedang menerbangkan pesawat terbang. " Udah, udah! Kok Ririn mainin mainan anak laki-laki. Ngga' seru lagi," tukuk Rani.
Ririn langsung sewot. Namun, rasa cemberutnya segera sirna ketika kue yang dibawanya dari meja makan meluncur ke mulutnya. Hmm.. Ririn pun menyantap lahap.
ooo

Sudah pukul sembilan malam. Rani terlelap tidur setelah menghabiskan waktu seharian bermain dengan teman-temannya. Namun, Rani tersentak bangun ketika suara-suara gaduh muncul di balik jendela kamarnya. Dalam kantuk yang belum hilang, Rani mencoba bangkit menuju jendela untuk mencari asal-muasal suara tersebut.
Krek! Sebuah burung kertas jatuh dari udara dan menimpa jendela kamar Rani. Rani terperanjat. Saking terkejutnya, sepatah katapun tak keluar dari mulutnya. Keterkejutan Rani tiba-tiba berubah menjadi ketakutan ketika matanya menuju ke arah datangnya burung kertas. Dalam kegelapan, samar-samar Rani menyaksikan sesosok tubuh. Sesosok tubuh itu pastilah perempuan karena rambutnya yang panjang tergerai diterba angin malam. " Maaa...!" Rani berteriak ketakutan membuat suara gaduh yang langsung membangunan papa dan mamanya yang tidur di lantai dasar.
" Ada apa sayang," sapa mama yang menemukan Rani bersembunyi di balik selimut.
" Aa, ada perempuan, serem, Ma!" ujar Rani terbata sambil menunjuk ke arah rumah Tante Fe.
Mama melongokkan kepalanya ke arah jendela. Namun, yang ditemukannya hanyalah rumah Tante Fe yang kelam karena sebagian lampunya dimatikan. " Ngga' ada apa-apa. Hm... pasti Rani mimpi buruk lagi," ujar mama menghibur.
" Ngga' kok, Ma! Rani emang melihatnya," tukuk Rani menyela.
" Ya, sudah! Sekarang, Rani tidur lagi ya!" Mama merapikan selimut Rani di pembaringan setelah menutup rapat jendela kamar yang sempat terbuka.
Sepanjang malam, Rani menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik selimut. Karena keletihan, akhirnya ia sempat terlelap dengan nyenyak.

ooo

Pulang sekolah, Rani terlihat kecapean sekali. Sepanjang malam tadi, ia hanya menikmati beberapa menit saja tidur yang nyenyak. Selebihnya, rasa takut yang mencekam. Sesampai di kamar, Rani ingin langsung menuju pembaringan. Namun, langkahnya terhenti ketika di sekeliling kamarnya puluhan burung kertas berserakkan di mana-mana. Rani ingin segera berlari menuju mama di lantai dasar, namun belum sempat membalikkan tubuhnya, sebuah mainan kertas lagi melesat di jendela kamar. Sekarang Rani melihat dengan jelas kalau burung kertas itu datangnya dari rumah sebelah.
Rani melongokan pandangan dari balik jendela kamarnya. Seorang anak perempuan menatapnya dingin dari sebuah kamar di lantai dua rumah Tante Fe. "Hai, Rai! Baru pulang sekolah ya?" Tante Fe melambaikan tanggan dari halaman depan rumahnya. Saat itu, mama berada di sampingnya.
Rani bergegas keluar kamar. Setengah berlari, ia menyusul mama yang sedang berada di rumah Tante Fe. " O iya, Rani kan belum pernah lihat-lihat rumah Tante," sapa Tante Fe ramah ketika menyambut Rani di serambi depan rumahnya.
" Tante, boleh ngga' Rani main ke dalam," pinta Rani.
Tante Fe mengangguk. " Eh, Rani jangan nakal ya!" giliran mama menyela Rani yang langsung berlarian kecil menuju lantai dua rumah Tante Fe.
Dengan penuh penasaran, Rani melangkahkan kaki menuju kamar paling ujung. Kamar itu berhadapan langsung dengan kamarnya. Di kamar itu, Rani mencari sesosok anak perempuan yang baru saja dilihatnya.
Rani membuka pintu kamar itu pelahan. Tidak terkunci. Senyum manis langsung ditebarnya kepada sesosok anak perempuan yang duduk sendiri di ujung kamar. " Kamu pasti Sisi," sapa Rani. Namun, sesosok gadis yang tubuhnya sama besar dengan Rani itu hanya diam dengan senyumannya.
Ternyata Sisi tidak menakutkan seperti pertama kali dilihat Rani dalam sosok bayangan kemarin malam. Rani memberanikan diri semakin mendekati Sisi. " Kenalin, saya Rani," sapa Rani lagi menjulurkan tangannya.
Sisi tak kunjung menjawab. Hanya senyuman tak henti-henti diberikannya. Rani semakin mendekat lagi. Namun, langkahnya menjadi ragu ketika pandangannya berbenturan dengan kedua belah kaki Sisi yang terikat dengan tali. Dua bilah tali mengikat kedua kaki Sisi dari sisi kiri dan kanan. Sisi terpasung!
Sisi menggerak-gerakkan kedua kakinya. Gerakkannya tertahan dalam ikatan tali. Rasa iba menggerakkan kedua tangan Rani melepaskan ikatan tali itu. Ikatannya sangat kuat, Rani memulai dari kaki sebelah kanan.
Ups! Setelah berjuang beberapa saat, Rani berhasil membuka ikatan pertama. Perasaannya lega, ketika Sisi menyambut dengan senyum seakan ingin mengucapkan terima kasih. Rani kemudian memulai membuka ikatan kedua. Kali ini lebih gampang karena sudah dicobanya pada ikatan pertama. Saps, saps, saps! Ikatan kedua mulai longgar. Rani menyega sesaat keningnya yang mulai diterpa keringat. Satu simpul lagi, ikatan kedua terlepas dan tiba-tiba Rani dikejutkan suara Tante Fe yang muncul dari balik pintu kamar. " Eh, Rani di sini!" sapa Tante Fe khawatir.
" I...iya, Ta..." Rani ingin melanjutkan ucapannya yang terbata, namun tiba-tiba sebuah cakaran menimpa dari arah depan. Rani terpental! Rani mencoba untuk bangkit. Samar-samar ia mendengar teriakkan mama. Pelahan-lahan teriakkan itu semakin memudar dan hilang. Rani pingsan!

ooo

" Rani, Rani, Rani...!" Rani kembali mendengar suara yang samar-samar. Pelahan-lahan, ia mencoba membuka kedua matanya. Agak kabur, namun jelaslah suara itu berasal dari mama yang duduk di sebelah pembaringannya.
" Hm... Rani di mana, Ma?" Rani mencoba bangkit, namun mama langsung melerainya. Rani hanya bisa melayangkan pandangan ke segala sudut. Ruangan itu tidak asing baginya, kamarnya sendiri.
Rani tidak siuman seharian. Namun, dokter menyebutkan, ia hanya mengalami benturan ringan. " Tante Fe tadi menyampaikan maaf. Ia juga pesan agar Rani cepat sembuh," ujar mama berlalu membawa gelas yang sudah kosong. " Rani berbaring lagi ya," sapa mama.
Rani mencoba bangkit dari tempat tidur dengan sisa tenaganya. Pandangannya dilongokan keluar jendela. Dua buah mobil boxs terbuka parkir di halaman depan rumah Tante Fe. Empat orang pekerja sedang sibuk memindahkan sejumlah perabotan. Rani tidak melihat sosok Tante Fe, Om Sam, apalagi Sisi. Keluarga itu hanya menjadi tetangga barunya selama lima hari.
" Eh, Rani kok berdiri di jendela. Rani harus banyak berbaring, kan tubuhnya masih lemah." Mama mengejutkan Rani yang asyik dengan aktifitas pekerja di sebelah rumahnya. " Tante Fe menyesal karena ngga' ngasih tahu sebelumnya kalau Sisi lagi sakit. Rani jangan dendam ya," ujar mama.
Sisi sebenarnya terpaut jauh usianya dengan Rani. Namun, karena selalu berada di tempat tertutup, wajahnya seperti anak perempuan yang berusia sepuluh tahun saja. " Ma, Sisi ngasih Rani burung kertas. Mungkin Sisi ingin terbang seperti burung kertas itu ya, Ma?" Mama tersenyum, membelai rambut putrinya yang tergerai.
Drung, drung, drung...! Suara mesin mobil boxs memecah sepi dii halaman depan rumah Tante Fe. Kedua mobil itu berlalu meninggalkan pagar depan. Rani tidak sedikitpun melepaskan pandangannya, hingga... Prak! Suara benda kecil menimpa jendela menyentakkan lamunannya. Sebuah burung kertas jatuh ke atas tanggannya setelah membentur kaca jendela. A.R. Rizal

Tidak ada komentar: