Kamis, November 29, 2007

Merek Dagang: Uni-Uda

Prolog

JEMPRET sana, jempret sini, mujur kalau jempretannya enak dipandang mata. Eh, ini cuma foto tegak-tegak saja minta dimuat di koran. Apalagi, kalau foto barengnya sama pejabat, tentu punya nilai tambah. Kalau sudah begitu pantas pula disebut sebagai selebritis lokal. Ada juga kunjung sini, kunjung sana, jalan sini, jalan sana, sumbang ini, sumbang itu. Pastilah semuanya itu minta diketahui banyak orang. Ini lho: Uni-Uda ke, Bujang-Gadih ke dan bla, bla. bla!

Arisan Tahunan
Cerita tentang Uni-Uda, sebuah ajang pemilihan di Sumbar seperti sebuah sinetron yang tak ada putus-putusnya. Setiap tahun digelar, setiap itu pula publisitasnya dilakukan secara besar-besaran. Entah dari mana asal-muasalnya, ajang itu tak urung menyulut minat anak-anak muda. Alasannya, siapa yang tidak ingin terkenal. Apalagi, cerita yang selalu didengung-dengungkan tentang Uni-Uda yang berpelesiran kian-kemari.
Sebagai sebuah jaringan berbentuk mata rantai yang tak terpisahkan, pemilihan Uni-Uda menancapkan akar yang kuat hingga ke bawah. Di tingkat kabupaten dan kota ajang sejenis dilaksanakan untuk setiap pemenangnya memiliki tiket mengikuti ajang yang lebih tinggi di tingkat provinsi. Seperti sudah mendapatkan pengakuan secara legal-formal, ajang ini tentu saja mendapat dukungan dari pemerintahan masing-masing daerah. Bahkan Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya menjadi perpanjangan tangannya. Hebat! Mereka kemudian disebut-sebut sebagai duta wisata, parahnya lagi sebagai duta budaya, duta Minangkabau. Entah siapa yang secara defacto memberikan jargon itu.

Budaya Daun Kelor
Minangkabau tak sebesar daun kelor, apalagi memberi makna tentang kebudayaan Minangkabau. Budaya Minangkabau itu bukan hanya Istano Pagaruyung, Bundo Kanduang atau pola kekerabatan matrilineal. Budaya Minangkabau bukan sekadar baju kuruang, talempong, eh apalagi Uni-Uda. Semuanya hanya serpihan-serpihan dan tentu saja seakan-akan memiliki makna yang luar biasa setelah dilakukannya "politisasi budaya". Simbol-simbol dibangun, jargon-jargon diciptakan platform-platform dieksistensikan, seperti kata-kata adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah yang berserak-serak di mulut pejabat, walaupun kenyataannya adat itu sudah centang parenang, apalagi syara'-nya yang sudah berserak-serak.
Apa jadinya kalau falsafah adat mangato, syara' mamakai, disimbolisasikan pada eksistensi Uni-Uda. Lihat cara-cara mereka memperagakan pakaian, pakai baju tenun saja sudah mengaku memakai budaya Minangkabau. Padahal, satu saja sisi eksistensi pakaian dalam adat Minangkabau adalah yang terpenting menutup aurat. Kain tenun atau bordir dalam falsafah berpakaian itu hanyalah sebatas sebagai rendo, pemanis kain agar bagus dipandang mata. Jaan tabaok rendo, begitu kata peribahasa! Artinya, jangan tergoda dengan bungkusan, karena bungkusan itu tergadang menyilaukan, namun sering membawa kepada kehancuran.
Ini namanya budaya bungkusan, bungkuisasi. Uni-Uda itu memang diciptakan sebagai "bungkusan" yang enak dipandang mata. Pastilah! Mereka yang terpilih tentunya bukan orang-orang yang kebetulan berwajab bacilapuik. Tentu saja tidak ada larangan memiliki keistimewaan pesona secara fisik, namun ini dalam konteks kebudayaan. Di mana kemudian letak eksistensialisasi itu, kalau dalam bungkuisasi yang terpenting adalah pragmatisme yang nampak indah di permukaan.
Lihat lagi cara-cara Uni-Uda itu berkumpul, di atas maupun di belakang panggung. Tak ada hijab! Apakah itu adat bergaul yang diajarkan adat mangato, syara' mamakai. Belum lagi soal label metroseksual, gaul seleb gitu! Budaya Minangkabau mana yang dibawa dan dipakai Uni-Uda itu? Ehe, sesuai dengan pesan sponsor: ceritanya Uni-Uda itu pastilah akan mempromosikan pariwisata Sumbar, memperkenalkan adat dan budaya Minangkabau!

Ideologi Bernama Idolisasi
Namanya idolisasi. Fenomenanya setelah ajang American Idol menghebohkan negeri Paman Sam. Ajang pencarian bakat itu begitu populer, hingga mampu mengalahkan antusiusme jutaan pasang mata di Amerika yang sebelumnya akrab dengan ajang Grammy Award. Namun, di balik popularitas itu ada sebuah ironi ketika American Idol hanya menjadi ajang melahirkan bintang-bintang secara instan. Namanya, instanisasi! Ironisnya ketika budaya proses menjadi nihilisasi. Yang ada hanya budaya hasil, sehingga bagaimanapun caranya untuk keberhasilan itu berbagai cara bisa dihalalkan. Kalau sudah demikian, eksistensi nilai tidak ada lagi. Yang ada adalah wahamisasi!
Amerikan Idol memang sebuah fenomena yang baru, namun sejarah ideologisnya sangat panjang. Ajang itu setali tiga uang dengan namanya Miss World, Miss Universe dan ajang pemilihan sejenisnya. Intinya adalah bagaimana menciptakan ikonisasi secara instan untuk menarik histeria massa. Menarik histeria massa adalah strategi budaya yang paling sederhana dalam propaganda. Propaganda itu salah satu cara dalam politik kebudayaan. Bagaimanapun suatu budaya akan mencoba menjadi superior di atas kebudayaan lain. Di balik pertarungan itu sebenarnya ada sebuah ideologi yang lebih besar sebagai daya gerak. Kapitalisme dengan jerat konsumerisme menjadi ideologi budaya yang paling banyak menampakkan agresifitasnya. American Idol yang diduplikasi menjadi Idonesian Idol atau ajang sejenisnya AFI digerakkan oleh kapitalisme dan konsumerisme dalam berkesenian. Idola diciptakan dari sebuah histeria massa, sehingga lagu-lagu yang biasa saja dengan kesan idolanya menjadi laris manis di pasaran. Utile dan dulce, ekstrinsik dan intrinsik, nonsen!
Ratu-ratuan, pengeran-pangeranan yang diduplikasikan dalam ajang putri-putrian hingga Uni-Uda diikonkan sebagai publik figur, manusia luar biasa. Untuk sebuah ameliolasi, mereka dilabelkan sebagai duta budaya, duta wisata bahkan duta bangsa. Budaya mana yang diwakilkan, citra bangsa apa yang diangkatkan, mereka tidak lebih sebagai model iklan berbagai produk kecantikan, fashion dan gaya hidup. Yang diuntungkan tentu saja perusahaan kosmetik, butik, pabrik pakain yang menjadi sponsor semua ajang itu.
Ratu-ratuan, pangeran-pangeranan, Uni-Uda, bungkusannya sama. Cuma merek dagangnya saja yang berbeda. Agar lebih terasa "Minangnya", maka jadilah Uni-Uda namanya. Namun, tentu saja terlalu naif kalau simbolisasi budaya Minangkabau itu diwakili oleh sebuah produk perdagangan budaya bernama Uni-Uda. Kata Uni-Uda itu sendiri kata budaya. Tentu maknanya bukan sekadar muda-mudi yang hanya bisa berlalu-lalang di atas catwalk, mereka yang berbusa-busa mempromosikan wisata, sementara bahasa Minangnya pakai lou-gua.
Budaya Minangkabau itu aktulisasi diri orang Minang. Budaya itu, nilai-nilai yang memanusiakan orang Minang dengan keminangannya. Sejarah adat dan budaya Minang sendiri tidak mencatat yang namanya pemilihan Uni-Uda, bagaimana mungkin meletakkannya dalam eksistensi keminangkabauan. Jangan-jangan itu justru sebagai propaganda untuk menghancurkan keminangkabauan itu sendiri. Kalau bahasa misionarisnya: jauhkan muslim itu dari Alqur'annya karena Alqur'an itu adalah isi, sedangkan Uni-Uda adalah bungkusan. Diciptakanlah bungkusan yang indah untuk menyilaukan mata untuk melihat yang isinya. Seperti kacang yang lupa akan kulitnya, toh kulit itu akan dibuang juga.

Epilog: Budaya Sayur-mayur
Sayur asem, sayur lodeh, sayua lalidiah, tumis kankung, dipilih sesuai selera. Kalau asin, juara yang ke sekian, maka jadilah Uni Favoritlah! Sedap nian, jadilah Uni-Uda, duta wisata. Bumbunya diaduk, diuleg, diremuk dari rempah-rempah dari negeri antah barantah! Hebat kokinya, namun tentu saja semua harus sesuai pesanan: sponsor, bisa siapa saja. A.R. Rizal

Tidak ada komentar: