PERNAH melihat film Blood Diamond yang dibintangi aktor Leonardo de Caprio? Film peraih Oscar itu menceritakan tentang konflik politik dan rasis di negera hitam Siera Leons. Kisah petualangan si pencari permata yang diperankan Leonardo yang terjebak dalam konflik kemanusiaan di salah satu negara termiskin di Afrika itu. Cerita yang berujung pada sebuah amanah, orang-orang di Eropa berburu permata di benua hitam, rela membelinya dengan harga mahal untuk sebuah gaya hidup. Bagi anak-anak Siera Leons, permata yang berkilau itu tidak lebih sebagai kerja paksa dan alasan yang membuat penduduk di negeri itu tetap berperang.
Film Blood Diamond sedikitnya bisa menganalogikan kasus KRH Darmodipuro terhadap hilangnya arca berharga di Museum Radya Pustaka Jawa Tengah. Secara ekonomi, benda-benda bersejarah itu memiliki nilai tak terperi seperti permata-permata Siera Leons yang diperjualbelikan dalam black market di Eropa. Namun, masyarakat Indonesia sebagai pemilik sejarah itu tidak mendapatkan nilai ekonomi yang sepadan dari perdagangan itu. Apalagi, kalau mengukurnya dengan nilai sejarah, nilai budaya, nilai peradaban ketika benda-benda itu dikaji secara keilmuan oleh peneliti-peneliti Barat dan kemudian bangsa ini harus belajar kepada orang-orang itu tentang sejarah budayanya sendiri.
Bangsa Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman budaya, kekayaan benda-benda budaya, kekayaan alam, itu kan kata orang-orang di luar negeri ini. Pada kenyataannya, masyarakat negeri ini tidak pernah merasa kaya dengan kekayaan yang dimilikinya. Punya tambang emas di Papua, namun yang menikmatinya investor asing yang menjajah dengan imperialisme uang. Ada kekayaan sejarah budaya bangsa, namun yang dibikin pintar adalah ilmuan-ilmuan asing. Ada benda-benda budaya bernilai tinggi, namun yang diuntungkan adalah segelintir orang sebagai penadah. Bangsa ini tidak menghargai kekayaan dirinya sendiri karena mentalnya masih mental terjajah dan mereka suka membesarkan diri sendiri karena mental KKN yang sudah menjadi semacam "ideologi" baru.
Praktik perdagangan ilegal benda-benda bersejarah adalah satu sisi dari persoalan mental bangsa ini, secara formal tentu saja terkait dengan penegakan hukum. Praktik ini tentu saja juga terjadi di negara-negara maju, namun indeksnya boleh dibilang parah bila mengukurnya untuk kasus di Indonesia, karena lemahnya penegakan hukum dan mental KKN yang sudah menggurita.
Benda-benda budaya memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Bagi segelintir orang-orang berbunya, memiliki benda-benda itu menjadi alat investasi, menyimpan uang mereka. Kalau kepemilikkannya secara legal, harga untuk mendapatkannya akan lebih murah dan tentunya dengan melegalkannya, nilai jualnya akan lebih tinggi. Namun, tentu saja, nilai benda-benda itu akan lebih jauh berharga apabila dihargai sebagai karya budaya dan ilmu pengetahuan.
Sebagai karya ilmu pengetahuan, kolonial Belanda paling tahu betul cara memanfaatkan benda-benda ini. Sebagain besar, karya besar sejarah dan budaya Indonesia tersimpan di museum-museum negeri itu. Ironis sekali, karena untuk mempelajari sejarah budayanya sendiri, anak negeri ini harus belajar ke negeri kincir angin itu. Sejauh itu, negeri ini masih terus terjajah.
Bukan salah sejarah budaya bangsa ini sudah banyak yang hilang. Itu karena, masyarakatnya malas untuk sekadar menghargainya. Seberapa banyak anak negeri ini yang tahu dengan budayanya sendiri? Boleh dihitung dengan jari. Mereka lebih menyenangi budaya pop yang banyak menghiasi layar-layar kaca. Ternyata persoalannya sederhana saja, bangsa ini enggan menjadi bangsa yang besar. Hanya bangsa yang besar mampu menghargai karya budayanya sendiri.
Seperti arca yang hilang di Radya Pustaka, anak-anak negeri ini seperti wajah-wajah Ciwa Mahadewa, Durga Mahisasuramardhini, Agastya, Mahakala, dan Durga Mahisasuramandhini II. Mereka dipuji-puja, namun tetaplah sebagai sebuah patung, yang diam. Dia tidak tahu atau tidak mau tahu, betapa ia begitu sangat berharga. A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar