DUA tahun baru yang banyak ditunggu-tunggu datang tak beberapa lama berselang. Tahun baru masehi 2008 dan menysul tahun baru hijriah 1429. Tak ada yang menapik kalau momen pergantian tahun itu merupakan hal yang sangat berarti, spesial banget! Namun, sejauh manakah momen itu benar-benar mempunyai arti bagi setiap orang.
Refleksi tahun baru masehi selalu identik dengan pestas. Ada yang memaknai sebagai ajang intropeksi diri, namun banyak makna itu luluh di tengah pesta pora yang membahana. Selalu ada kembang api, terombet, pesta sampai larut malam. Dan yang tertinggal dari euphoria sesaat itu hanyalah letih, capek, ngga heran juga ada yang berbuah tragedi.
Peringatan tahun baru hijriah sih ngga banyak beza. Memang ngga selalu identik dengan pesta pora, lebih dekat ke ritualitas-ritualitas. Namun tetap saja, ritualitas itu berhenti sebagai sebuah kesakralan yang hampar nilai-nilai edukasinya. Lebih ironis lagi, ritualitas itu bahkan menjerumuskan kepada irasionalitas yang membuat otak tak bisa mikir tentang hari yang cerah di tahun baru. Ada acara buang sesajenlah, bersih-bersih benda keramatlah. Hm... kira-kira bisa ngga ya buat merubah nasib di tahun depan?
Tahun berganti, musim berubah, ya siklus kehidupan emang demikian. Jadi, ya biasa-biasa saja lagi! Ngga perlu pakai acara peringatan-peringatan segala. Ngga ada yang istimewa dari pergantian tahun itu, toh setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap pekan, bahkan setiap bulan waktu itu terus berganti. Ngga ada hari baik, ngga ada hari buruk, ngga ada tahun baik, ngga ada tahun buruk, semuanya baik saja, yang pasti setiap tahun yang baru adalah tahun yang buruk. Lho? Iyalah, karena setiap tahun bertambah, itu berarti jatah hidup buat ngelakuin yang terbaik semakin berkurang.
Jangan cuma bisa terbawa arus peringatan-peringatan yang ngga ada jundrungannya. Kalau buat mengintropeksi diri, mah itu kewajiban yang kudu dilakukan setiap orang. Ngga' perlu menunggu pergantian tahun, kapan dan dimana saja setiap orang dituntut untuk melakukan intropeksi diri. Selesai mengerjakan suatu pekerjaan, intropeksi dirilah, apakah perkerjaan itu telah memberikan hasil yang terbaik. Selesai beribadah, intropeksilah apakah itu sudah yang terbaik yang kita lakukan. Apa saja yang dilakukan, setiap orang harus punya kemauan dan kemampuan untuk menilai sendiri apa yang telah dilakukannya itu.
Ada tiga hal yang musti diinsyafin ketikan melakukan intropeksi diri. Pertama, hitunglah waktumu, apakah hari ini lebih baik dari hari yang lalu. Kalau demikian adanya, berarti kamu termasuk orang yang beruntung. Kedua, hitunglah apakah hari ini sama saja dengan hari sebelumnya. Itu berarti kamu termasuk orang yang merugi. Ketiga, hitunglah apakah hari ini lebih buruk dari hari sebelumnya. Celakalah kamu jika termasuk bagian yang ketiga.
Untuk menjadi lebih baik dari hari-hari sebelumnya, belajarlah dari hal-hal tidak baik yang pernah kita lakukan. Dengan mengetahui ketidakbaikkan itu, kamu jadi punya orientasi untuk memperbaikinya di lain hari dan tidak melakukan kesalahan yang sama. Itulah urgensi dari intropeksi diri, seperti sebuah komputer, diri kamu harus senantiasa di-refresh, kalau tidak ingin menjadi hang. Perbaikilah diri kamu setiap waktu, barulah kamu menjadi manusia baru yang tak perlu menunggu tahun berganti baru A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar