MENJADI bintang adalah impian yang lumrah, seperti sebuah pribahasa selalu mendengungkan: gapailah cita-citamu setinggi bintang di langit. Jalan mencapai itu bisa teramat panjang, namun bisa juga begitu gampang. Tidak satu jalan ke Roma, begitu ungkapannya, walaupun itu bukan jalan pintas yang selalu pantas.
Orang-orang tertentu memilih jalan keras, terjal dan penuh tantangan untuk menjadi bintang impiannya. Seorang Nielsen Mandela harus mendekam di penjara puluhan tahun untuk menjadi bintang kepahlawanan atas politik dikriminasi ras di Afrika Selatan. Seorang Arief Rahman Hakim harus melepas nyawa di usianya yang muda untuk menjadi pahlawan Tritura di era 1966. Namun, sebagian orang mencari jalan yang gampang untuk menjadi bintang, ya dengan ikut acara idol-idol-an.
Zaman memang menghendaki perubahan, seperti juga perubahan persepsi tentang bintang. Apapun bentuk persepsi itu, setiap bintang selalu muncul di setiap masanya. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang akan menjadi bintang itu. Jawabannya tentu saja setiap orang punya pilihan dengan caranya masing-masing.
Saat ini bisa jadi seorang pemuda yang mengangkat senjata di medan perang bukanlah disebut sebagai bintang, tentu saja setelah negeri adikuasa, Amerika Serikat telah membuat stigma global yang tidak adil terhadap perang. Namun, negeri itu pula yang secara kultural menciptakan trensetter tentang bintang dengan menglobalkan tayangan idol-idol-annya. Media massa kemudian menjadi "Tuhan" yang punya otoritas menentukan bintang tersebut.
Stigma idol telah merubah persepsi global tentang bintang. Stigma yang kemudian diberhalakan oleh kaum muda-mudi. Bintang adalah mereka yang diciptakan secara instan lewat ajang pencarian bakat, di mana publik memiliki kebebasan untuk melakukan justifikasi secara subjektif. Bintang kemudian dicitrakan kepada mereka yang muda belia dengan segala ketenaran, kemewahan dan gaya hidup yang ditiru banyak orang. Muda-mudi kemudian berlomba-lomba menjadi bintang walaupun mempertaruhkan kehakikian diri mereka sendiri dengan menjadi manusia di luar siapa dirinya.
Apakah bintang selalu orang-orang yang paling beruntung? Mereka yang sebagian kecil telah mendapatkan berbagai kemewahan secara gampang? Mereka yang karena hukum simsalabin memiliki segala status yang menjadi paten terhadap posisinya sebagai penghuni tertinggi kederajatan secara sosial? Setidaknya, zaman menilainya ke arah itu.
Namun, tetap saja kesejatian seorang bintang itu tidak bisa dimanipulasikan, apalagi dinihilkan. Masa akan melahirkan bintangnya, walaupun bintang itu sebuah sosok yang selalu disebut dan diperbincangkan. Masa punya cara sendiri untuk mencatat bintang-bintangnya. Masa bisa mencatatkan kisah kebintangkan seorang anak yang berjuang dengan prestasi kecil untuk membanggakan kedua orangtuanya yang didera hidup serba keterbatasan. Bintang itu bisa jadi seorang cucu yang sangat mencintai kakeknya, seorang adik yang menyanjung kakaknya, dan mereka itu bisa seorang pemulung, anak jalanan, tukang parkir, anak petani, mereka yang tak tersebutkan dalam hingar-bingar propaganda media massa.
Setiap orang tentu saja berhak menjadi bintang. Caranya, tak selalu menghebohkan seperti ajang idol-idol-an. Bintang itu adalah seseorang yang melakukan hal yang tepat di saat yang tepat. Well, setiap kamu tentu bisa melakukannya, tanpa harus menjadi sesuatu di luar diri kamu. A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar