Senin, Desember 17, 2007

Prokem on Peace

BAHASA gaul alias bahasa prokem emang identik dengan dunia remaja. Namun, identitas itu terkadang tersandung pemaknaan yang negatif. Ada ambiguitas juga sih. Bagi remaja, bahas prokem adalah identitas di antara mereka, namun di sisi lain stigma yang melekat pada bahasa itu adalah kekasaran, keselenehan dan kekurangajaran.
Konon, bahasa prokem lahir dari kelompok preman atau mereka yang dekat dengan komunitas jalanan. Tak heran, bahasa prokem, oleh sebagian orang akan dianggap kasar, kurang sopan-santun dan stigma negatif lainnya. Yah, kalau mau menganalogikan dalam konteks yang lebih kecil, bahasa prokem ala remaja Minang misalnya, akan diidentikan dengan banyaknya khasanah verbal yang bernuansa ampek santiang. Namun, sejarah kebahasaan ini sebenarnya perlu diuji lagi. Apakah memang, bahasa prokem lahir dari lingkungan yang tidak beradap. Mengapa kemudian, bahasa seperti ini justru menjadi tren di kalangan remaja. Nah, ini kan pro-kontra yang perlu dicarikan jawaban yang porposional.
Bahasa menunjukkan ciri suatu bangsa. Dalam konteks yang lebih kecil, bahasa menunjukkan ciri sebuah suku, kaum bahkan komunitas sosial. Remaja sebagai sebuah komunitas sosial sebenarnya memiliki berbagai ragam bahasa gaul alias bahasa prokem. Ragam itu bisa dalam wilayah perbedaan dialek atau memang istilah-istilah baru yang berbeda untuk mereka pakai.
Sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, bahasa juga mengalami perkembangan. Secara umum, bahasa gaul remaja di Indonesia selalu diidentikan dengan logat bahasa Betawi yang kental. Sederhananya, ada istilanya lou-gua. Namun, dalam lingkungan remaja yang lebih kecil lagi, bahasa gaulnya juga memiliki ragam sendiri. Remaja dalam komunitas pergaulan yang sehobi di bidang teknologi informasi, bahasa gaulnya pasti beda dengan mereka yang punya komunitas sehobi di bidang fashion. Dalam perkembangan yang lebih luas, bahasa gaul itu kemudian bercampur-baur, adanya unsur bahasa daerah, Inggris, bahkan unsur bahasa suku terpencil di belahan dunia lain. Yah, kemajuan teknologi komunikasi memungkinkan terjadinya akulturasi dalam bidang bahasa.
Bahasa fungsinya adalah sebagai alat komunikasi. Orang akan menggunakan suatu bahasa sesuai dengan kebutuhan komunikasinya. Tidak hanya dalam konteks kebutuhan komunikasi antar bangsa yang berbeda, namun juga dalam konteks komunikasi sosial yang berbeda. Misalnya, walaupun sama-sama menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan itu sudah ada standarisasinya, namun penggunaan bahasa itu untuk komunikasi dalam lingkungan pedagang di pasar atau untuk kalangan pejabat akan jauh berbeda. Dalam konteks geografis misalnya lagi, walaupun sama-sama menggunakan bahasa Minang yang standar, namun kebutuhan komunikasinya untuk di daerah pegunungan di Sumbar atau di daerah pesisir pantai akan berbeda.
Bagi mereka yang tinggal di daratan rendah, kemudian berkomunikasi dengan mereka yang tinggal di pesisir pantai, walaupun menggunakan bahasa yang sama, namun kesan maknanya bisa berbeda. Orang pantai biasa berbicara keras, karena kondisi alam yang menuntutnya begitu. Kemudian, apakah dengan demikian harus dijustifikasi kalau orang daratan itu lebih santun dari orang pantai? Stigma yang muncul memang demikian.
Stigma yang melekat terhadap bahasa prokem remaja adalah ciri bahasa yang kasar, tidak sopan. Ini tentu saja justifikasi yang berlebihan. Bahasa apapun namanya, khasanah kata-kata kotor dan jahat itu pasti ada. Nah, tergantung dari sisi mana melihatnya. Kalau kata-kata kotor atau kasar itu ditempatkan sesuai dengan situasi dan kondisinya, maka sebagai alat komunikasi yang efektif menjadi sah-sah saja. Sebuah istilah bagi sebuah komunitas punya lambang makna sendiri. Jadi, stigma jelek itu muncul lebih karena sikap orang-orang yang tidak memahami bagaimana sebuah bahasa itu digunakan sesuai konteksnya. Istilahnya memang bahasa gaul alias prokem, namun tentu saja bukan untuk dipakai untuk semua pergaulan. Sesuai konteksnya, bahasa gaul itu baik-baik saja. Yang ngga' baik, kamu tidak mengetahui bahasa gaul di sebuah komunitas gaul, sehingga kamu langsung mencap mereka adalah orang-orang yang ngga' gaul. Bagusnya sih, kamu bisa mengenal banyak bahasa, sehingga kamu bisa berkomunikasi dengan siapa saja sesuai keinginan kamu. A.R. Rizal

Tidak ada komentar: