Minggu, Desember 16, 2007

Borju

"LOU borju, lagak lou tu, ke laut aja!" Kamu tentu ingat dengan sepenggal kalimat ini. Petikan bait lagu dari sebuah grup musik rap tanah air. Beberapa dekade lalu sempat populis sebagai bahasa kritik sosial. Cerita lalu, namun realitasnya tetap saja aktual dan faktual sampai hari ini.
Borju berasal dari kata borjuis. Istilah ini dipakai untuk menyebut gaya hidup kaum the have di Francis dan di Eropa secara umum setelah lahirnya revolusi industri. Kemapanan ekonomi melahirkan orang kaya baru yang membangun citra komunitasnya sendiri. Kaum borjuis adalah kisah tentang orang-orang yang mencari kesenangan hidup dengan berbagai kemewahan.
Orang-orang borju tentu saja punya alasan untuk bergelimang dengan kemewahan. Apa sih yang ngga' bisa dibeli. Harta seambrek, mereka punya alasan buat menghambur-hamburkan untuk membelanjai gaya hidup. Tentu saja di balik gaya hidup orang-orang berpunya itu ada sebuah ironi. Orang-orang borju hidup dari pabrik-pabrik yang digerakkan oleh keringat dan air mata pekerja kasar. Toh, bagi mereka sudah cukup bisa memberi makan dan mencarikan pekerjaan bagi pekerja-pekerja kasar itu, daripada menjadi pengangguran. Jangan bicara soal sesitifitas sosial, sense of crisis, apalagi cerita untuk berbagi.
Cara-cara hidup borjuis inilah yang banyak juga diadaptasi oleh remaja di tanah air. Tentengan barang-barang bermerek yang harganya selangit, mobil mewah, hingga hobi-hobi yang aseli bisa menguras isi kantong. Mereka bangga dengan gaya hidup itu, bahkan membangun komunitas sendiri dengan kemewahannya.
Bagi borjuis, pilihan hidup adalah merek. Bagi mereka, tas bukan sebagai alat untuk membawa berbagai perkakas, namun adalah citra butik yang menjualnya. Tak heran, kebutuhan akan tas adalah bagaimana bisa dibeli dengan harga yang melangit. Bagi mereka makan bukan sekadar membuat perut kenyang, namun bagaimana bisa dilihat secara sosial sebagai orang-orang yang berkelas.
Mengapa ada orang-orang yang rela menghabiskan uang jutaan rupiah hanya untuk meneguk segelas kopi panas di sebuah cafe berkelas. Pertanyaan yang sangat sederhana jawabanya, yaitu karena mereka tidak pernah tahu betapa susahnya kopi secangkir itu setelah diracik, sehingga menjadi minuman yang menyegarkan.
Cerita tentang generasi borju adalah cerita anak-anak mami yang mendapatkan segalanya begitu saja karena terlahir dari keluarga yang bermandikan kemewahan. Cara mereka hidup adalah bagaimana menghabiskan kemewahan itu untuk bersenang-senang. Tentu saja soal harta bukan persoalan bagi mereka, karena semuanya tersedia. Tak ada cerita boros, karena mereka tidak pernah merasakan bagaimana susahnya mengumpulkan semua harta itu.
Orang-orang yang bekerja keras, memeras keringat dan air mata adalah orang-orang yang lebih menghargai apa yang didapat dari jeri payahnya itu. Setiap orang tentu saja boleh terobsesi dengan kemewahan duniawi. Yang terpenting kemudian adalah bukan bagaimana mendapatkan kemewahan itu, namun bagaimana menghargainya. Mengambur-hamburkannya, itu adalah cara borjuis. Mereka yang kemudian lupa kalau sebagai homo homenilopus harus berbagai dengan manusia lain yang dalam hidupnya mungkin tidak beruntung.
Cerita-cerita tentang generasi borjuis tentu saja ironism, karena bagaimana dalam kondis kekinian yang serba susah, mereka masih bisa tertawa dengan kemewahannya. Namun, lebih naif lagi ketika ada mereka yang papa berhasrat seolah-olah sebagai orang berpunya. Yang terjadi kemudian adalah, ketika ingin membangun pencitraan dengan mereka, yang terjadi kemudian adalah pencitraan imitasi. Pakaian seolah-olah merek berkelas, padahal semua itu barang tiruan. Kalau sudah dalam taraf itu, secara sosiologis dan psikologis, kamu termasuk orang yang "sakit". A.R. Rizal

Tidak ada komentar: