Sabtu, Desember 15, 2007

Emo Teens

SURAT kabar Straits Times Singapura pernah melaporkan sekelompok anak ABG berusia 12-an tahun melakukan aksi ekstrem di sekolahnya. Ngga' tanggung-tanggung, mereka menggores tangan sendiri dengan pisau. Darah yang mengalir kemudian diekspresikan sebagai shower.
Ngga' ada ketakutan. Bahkan, ketika meneguk sendiri darahnya yang mengalir, mereka seperti mendapatkan soft drink. Kalau ada yang sampai pingsan karena kehabisan darah, di saat itu mereka justru merasa begitu kuatnya. Aksi-aksi nekad ini kemudian menjamur sebagai virus yang terus membangun koloni.
Cerita vandalisme bukan hal baru di kalangan remaja। Pernah tau dong tentang munculnya kelompok neo-nazi di Jerman yang mengeksperimentasikan aksi kekerasan ala rasis di zaman Hitler dahulu. Apakah semua itu lantaran adanya kebangkitan ideologi hitam yang selama ini terkubur, ternyata tidak selalu benar. Ekspresi seperti ini di tanah air marak juga terjadi, seperti adanya aksi sekelompok remaja yang mengidentitaskan diri dengan simbol-simbol sosialisme, walaupun secara ideologis mereka tidak tahu dengan partai terlarang di masa lalu. Fenomena itu kemudian disebut emo teens, yaitu cara-cara emosional anak-anak belasan tahun untuk mengekspresikan dirinya dengan cara-cara ekstrem atau menentang arus.
Tak alasan filosofis mereka menggunakan cara-cara ekstrem untuk memperlihatkan dirinya kepada orang lain. Alasannya cuma satu, itu hanya ikut-ikutan tren, biar beda, namun akhirnya menjadi candu yang tak terleraikan.
Kenapa kemudian cara-cara ekstrem itu kemudian menjadi tren yang menjebak banyak remaja yang harus membayarnya dengan kehancuran masa depannya. Faktor psikologis sosial bisa jadi salah satu pemicunya. Emo Teens adalah sebuah aksi anti sosial, anti kemapanan. Ada remaja yang hidup dalam keluarga yang serba ada dan berkecukupan. Kemapanan kemudian memunculkan kejenuhan yang oleh sebagian mereka dilampiaskan dengan aksi-aksi tidak wajar untuk menarik perhatian. Ada yang merasa ngga' gaul kalau ngga' mencoba narkoba, ada yang merasa hebat ketika berhasil mengencani banyak wanita atau yang sedikit bersahabat yaitu tren pembalap jalanan yang begitu berbangga ketika dikejar-kejar Polantas. Ini juga cerminan akibat dari keluarga yang broken home.
Bisa jadi mereka adalah remaja yang beruntung dilahirkan dari keluarga yang mapan secara harta benda. Mereka juga mungkin remaja yang dibesarkan dengan sejuta kasih sayang oleh orangtuanya. Namun, mereka juga butuh mencari identitas diri. Remaja cendrung melakukan identifikasi diri dengan sesuatu yang berada di luarnya, terutama dengan lingkungan pergaulannya. Mujur kalau mereka mendapatkan lingkungan bergaul yang baik, berabenya mereka justru terjerembab ke jalan yang ngga' benar.
Setiap orang memang butuh identitas secara sosial. Di kalangan remaja ada yang namanya geng-geng gaul. Namun, kalau identitas sosial itu udah melewati batas, bahkan sudah mendekati taraf pembaiatan, identitas tersebut bisa menjadi sesuatu yang membahayakan. Bisa berubah menjadi ekstrimisme hingga vandalisme. Sudah banyak remaja yang terjebak dalam kelompok-kelompok tersebut dan mengorbankan identitas kesejatian dirinya. Padahal, benteng diri yang terbaik itu adalah identitas diri sendiri. Sebaik-baiknya teman gaul, yang terbaik itu adalah tetap menjadi diri sendiri. A.R. Rizal

Tidak ada komentar: