Sabtu, Desember 15, 2007

Penggali Pasir dari "Tanah Tepi"

TUAPEJAT-Senja menjelang di Muaro Tuapejat. Irwan bersama tiga rekannya baru saja menambatkan sampan di dermaga yang terbuat dari kayu. Sampan itu terlalu berat berlabuh di air dermaga yang dangkal, sehingga Irwan bersama tiga rekannya perlu mendorong sampan itu untuk bersandar di tepian.
Selesai menyeka wajahnya dari keringat, Irwan mulai tersenyum lebar. Sampannya berhasil membawa 6 meter kubik pasir. Artinya, lelaki yang menghidupi seorang istri dan tiga orang anak ini mendapatkan penghasilan penuh hari ini.
Menjadi penggali pasir memang profesi yang langka di Mentawai. Langkanya profesi ini sama seperti sulitnya mencari pasir di daerah yang banyak dikelilingi pantai ini. Ironiskah? Tidak sama sekali!
Sebagai daerah kepulauan yang sulit sarana transportasinya, biaya pembangunan infrastruktur di Mentawai terbilang mahal. Hal itu karena semua bahan-bahan yang di butuhkan untuk pembangunan, mulai dari semen, besi, kerikil hingga pasir semuanya didatangkan dari tanah tepi, sebutan untuk Kota Padang. Tidak mengherankan kemudian, biaya pembangunan infrastruktur di Mentawai mahalnya bisa tiga kali lipat dari Kota Padang. Kalau di Padang untuk membangun jalan sepanjang satu kilometer misalnya membutuhkan dana Rp2 miliar, maka di Mentawai biayanya bisa membengkak mencapai Rp6 miliar.
Ketergantungan Mentawai sangat besar kepada Kota Padang. Namun, bukan berarti di negeri sikerei itu tidak ada bahan-bahan dasar bangunan. Seperti pekerjaan yang dilakukan Irwan sebagai penggali pasir, Mentawai sebenarnya memiliki potensi pasir. "Tapi kandungan garamnya sangat tinggi, sehingga tidak bagus untuk bahan bangunan," ujar Irwan menimpali.
Irwan sendiri bersama teman-temannya mencari pasir di Muaro Tuapejat yang memiliki air payau. Walaupun kandungan garamnya masih tinggi, pasir dari Muaro Tuapejat ini menurut Irwan bisa diolah, sehingga kualitasnya mendekati pasir dari tanah tepi. Caranya, pasir yang baru diambil dari muaro kemudian dicuci dulu dengan air tawar untuk selanjutnya dijemur di tengah terik matahari. Beberapa kali cara itu dilakukan, maka kualitasnya pasir ini setidaknya 80 persen mendekati kualitas pasir dari Kota Padang.
Tidak mengherankan kemudian, pekerjaan sebagai penggali pasir cukup memberikan harapan bagi Irwan. Lelaki itu kemudian tidak segan-segan memboyong keluarganya sejak 2003 lalu untuk bermukim di Tuapejat. Bayangkan saja, setiap meter kubik pasir yang berhasil didapat dihargai Rp110 ribu. Kalau diolah dulu dan kandungan garamnya berkurang, pasir tersebut menurut Irwan permeter kubiknya bisa dihargai Rp120 ribu.
Pasir yang dikumpulkan biasanya dijual kepada kontraktor yang sedang mengerjakan proyek di Mentawai. "Kini sadang banyak proyek mah," ujar Irwan tersenyum lebar.
Kalau sedang musim banyak-banyaknya proyek, terutama di penghujung tahun, Irwan dan kawan-kawannya bisa mendapatkan penghasilan maksimal. Kalau pasir yang digalinya selalu ada yang menawar, maka setiap minggunya Irwan mengaku bisa mendapatkan penghasilan Rp400 ribu perbulan. Dikumpulkan selama sebulan, minimal penghasilannya Rp1,6 juta. Angka yang cukup besar bilangannya, namun jangan membayangkan artinya lebih besar jika dihabiskan di Mentawai.
Sulitnya transportasi di Mentawai salah satunya memicu tingginya biaya hidup. Bagi Irwan, penghasilan Rp1,6 juta perbulan hanya cukup untuk hidup sederhana, bahkan sesekali harus kekurangan. Bagaimana tidak besar belanja hidup di Mentawai, semuanya didatangkan dari Padang. Dahulu memang orang Mentawai dikenal sebagai pemakan sagu dan ubi, namun sekarang nasi menjadi kebutuhan utama. Di Mentawai tak ada orang yang bertanam padi, sehingga harga beras jenis Panda dengan kualitas sedang saja harganya mencapai Rp150 ribu untuk 20 liter.
Tanah tepi memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Mentawai. Seperti juga Irwan yang memilih mencari hidup di sana. Sesekali hatinya tetap tertambat di tanah tepi, namun ia harus berpikir panjang untuk ke tanah tepi karena untuk sekali perjalanan bersama keluarganya bisa habis penghasilannya yang dikumpulkan berbulan-bulan. A.R. Rizal

Tidak ada komentar: