Jumat, Desember 14, 2007

Balada PKL dan Cendol Patimura

GERAH seharian berkeliling Kota Padang, cobalah memutar sedikit ke Jalan Patimura. Minum minuman menyegarkan di tengah terik mentari, tentu pilihan yang tepat. Dengan meronggoh kocek Rp3 ribu perak, nikmatilah es sehat rumput laut. Yang satu ini jangan sampai dilewatkan, es jendol Patimura!
Entah sejak kapan bermulanya, es cendol sudah menjadi semacam land mark-nya Jalan Patimura. Rasanya yang khas, murah meriah, tak heran diserbu banyak kalangan. Tidak hanya mereka yang mampir setelah suntuk di atas angkot, mobil-mobil pribadi menterengpun tidak ketinggalan untuk antri. Walau dijual dengan cara PKL, tapi cukup berkelas bagi semua kalangan yang menginginkan sesuatu yang khas.
Memutar lagi ke arah Jalan Samudera. Bagi Anda yang sayang istri dan kebetulan dia lagi hamil tua, nah di jalan ini tempatnya mencari segala yang bernuansa asem. Aneka rujak dijual di sini. Tentu lebih romantis ketika Anda dan pasangan bisa langsung menikmati pemandangan indah ala laut lepas.
Bagi Anda yang ingin mencari sayur-mayur yang langsung dipetik dari sawah, Jalan Sandang Pangan tempatnya. Yang berkelas dengan buah-buah impor, cukup menyisir Jalan A. Yani saja. Kalau untuk urusan gaya, mencari sepatu sampe sandal gaul dengan harga murah-meriah, memang Jalan Permindo tempatnya. Sekali lagi, entah kapan asal-muasalnya, land mark itu muncul sebagai kekhasan yang menghidupkan Kota Padang.
Namun, cerita land mark Kota Padang itu tak seindah nasib berjualan para pedagang yang menghidupkannya. Mereka yang berjualan produk-produk khas itu adalah Pedagang Kaki Lima. Sudah jamak, cerita tentang nasib PKL adalah penggusuran, pungutan liar dan diuber-uber aparat Satpol PP. Mereka adalah benalu bagi ketertiban dan keindahan kota. Tak ada tempat untuk mereka, karena semua sudut jalan adalah tempat yang ilegal untuk berjualan. Namun, tentu saja mereka tidak pernah sepenuhnya lari dari jalan-jalan itu. Maka, jadilah mereka PKL yang keras kepala, sekali dirazia, sesudah itu muncul lagi.
Kehadiran PKL memang selalu dikonotasikan sebagai bagian dari permasalahan kota. Kehadiran mereka selalu diparadogskan dengan fasilitas umum yang harus terkorbankan. Pemerintah kota memang harus menjamin kebutuhan warganya atas fasilitas publik, namun PKL adalah bagian dari warga kota juga yang seharusnya mendapatkan solusi akan nasibnya. Selama ini tak ada solusi untuk mereka. Hal itu karena selama ini stigma sebagai biang masalah sudah melekat pada PKL.
Dalam falsafah berdagang orang Minang, PKL memiliki arti yang sangat strategis. Cerita PKL memang lebih banyak mirisnya, diuber-uber aparat hingga dipalak preman. Namun, lewat wadah itulah mental berdagang orang Minang diasah. Dalam konteks ini, tentu tidak pada tempatnya melihat PKL sebagai biang masalah perkotaan, namun sebaliknya seharusnya dilihat sebagai sebuah potensi yang bisa menggerakkan ekonomi masyarakat.
Selama ini, PKL identik dengan ketidakteraturan, jorok dan mengganggu ketertiban umum. Padahal, kehadiran mereka melahirkan ciri khas yang bisa dijadikan land mark untuk menghidupkan kota. Seperti kisah jendol Patimura atau rujak Jalan Samudera, kekhasan ini sebenarnya menjadi daya tarik yang bisa dijadikan potensi pariwisata. Pariwisata tidak hanya bagaimana menjual keindahan alam yang sudah diciptakan Tuhan apa adanya, namun keunikkan-keunikkan sosial juga memiliki nilai jual pariwisata. Sebagai sebuah kota besar, Padang pantas menjadi kota wisata belanja, kota kuliner dan tentunya itu tapatri dari keunikkan-keunikkan yang ditawarkannya.
Sudah saatnya PKL dipandang sebagai sebuah mutiara terpendam. Persoalannya selama ini hanyalah ketika mereka tidak mendapat fasilitasi dan bimbingan. PKL juga bisa tertib, indah dan memberikan daya tarik. Tinggal sekarang kebijakan pembangunan kota sedikit berpihak kepada mereka. Memandang PKL sebagai masalah, akan selamanya mereka menjadi duri dalam pembangunan kota. Padahal, dalam konteks hukum sosial, kehadiran mereka tetap dibutuhkan. Dalam hukum ekonomi, kehadiran mereka bahkan sangat diharapkan. A.R. Rizal

Tidak ada komentar: