MISKIN kreatifitas, inilah fenomena yang menjangkiti dunia akdemis di tingkat perguruan tinggi. Mulai dari profesor, asisten dosen, hingga mahasiswanya, malas berkreasi. Ada ribuan calon intelaktual muda hilir-mudik di berbagai kampus, namun lebih banyak di antaranya 3D alias, datang, duduk dan diam. Ada sebagian kecil yang menulis, membuat robot, membuat penelitian, namun itu tentu bisa dihitung dengan jari. Bagi sebuah eksistensi perguruan tinggi sebagai candra di muka perkembangan ilmu pengetahuan, kenyataan ini tentu saja memiriskan.
Wadah, merupakan persoalan klasik di setiap perguruan tinggi. Media bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi diri bukan menjadi perhatian mendasar, karena perguruan tinggi sibuk mengejar target akreditasi yang diukur dari keberhasilan proses belajar-mengajar di dalam kelas. Mahasiswapun terbiasa dengan pikiran pragmatis, bagaimana bisa kuliah nyantai dan cepat tamat, lalu dapat ijazah agar bisa diperlihatkan di sana-sini untuk mencari pekerjaan. Kalau di antaranya punya banyak waktu luang di kampus, paling itu digunakan untuk pacaran.
Selain memiliki lembaga formal yang menjadi wajah pembentukan karakter kepemimpinan mahasiswa, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa hingga Himpunan Mahasiswa di tingkat jurusan, setiap kampus juga memiliki lembaga formal ekstrakurikuler. Lembaga ekstrakurikuler ini menjadi wadah untuk meneruskan bakat mahasiswa. Persoalannya kemudian, sejauh mana lembaga-lembaga ini telah berfungsi secara maksimal.
Belenggu Politis dan Birokratis
Lembaga-lembaga formal kemahasiswaan memiliki hubungan struktural kepada birokrasi kampus. Di tingkat universitas terikat kepada rektorat, di tingkat fakultas terikat kepada dekranat dan di tingkat himpunan terikat kepada birokrasi jurusan masing-masing. Ada untungnya pelembagaan ini, setidaknya dalam soal anggaran dan pembinaan lebih tararah. Namun, paradigma yang terjadi selama ini adalah lembaga-lembaga ini justru terjebak dalam pola-pola birokratis yang justru mematikan kreatifitas mahasiswa.
Lembaga-lembaga formal mahasiswa, walaupun secara prinsip mewadahi bakat mahasiswa dalam kegiatan ekstrakurikuler, ternyata lebih menyibukkan diri pada persoalan-persoalan kelembagaannya yang bersifat birokratis. Lembaga-lembaga tersebut bahkan sangat potensial dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis di internal kampus. Mereka disibukkan pada persoalan-persoalan politis dan birokratis, sehingga lupa berkarya dengan potensi yang dimiliki masing-masing.
Tidak ada kemudian bakat-bakat menonjol yang dilahirkan Badan Eksekutif Mahasiswa atau Unit Kegiatan Kemahasiswaan. Semuanya terpolarisasi dalam rutinitas kelembagaan yang menjenuhkan. Kenyataan ini sekaligus memberikan gambaran bahwa buruknya wajah birokrasi di kampus sendiri.
Lembaga-lembaga politis dan birokratis kemahasiswaan di satu sisi memang menjadi wadah untuk membangun bakat kepemimpinan mahasiswa. Lembaga-lembaga ini memberikan bekal yang mampu memberikan bekal pengalaman bagi mahasiswa untuk terjun ke lembaga politis dan birokrasi yang lebih besar. Mereka-mereka yang pernah berkecimpung di organisasi intra kampus rata-rata bisa beradaptasi di lembaga politis dan birokrasi yang sebenarnya. Namun, sebagian mahasiswa membutuhkan hal yang lebih dari sekadar pengalaman politis dan birokratis.
Komunitas Kreatif
Mahasiswa membutuhkan wadah yang mampu mengeksplorasikan semua bakat yang terpendam di dalam dirinya. Kreatifitas memang menuntut area yang bebas dari sekat-sekat kepentingan politis dan birokratis. Komunitas-komunitas kreatif selama ini menjadi wadah yang efektif dalam menyalurkan bakat-bakat terpendam tersebut.
Komunitas adalah organisasi tak berbentuk, namun tentu saja bukan organisasi terlarang. Sebagai sebuah organisasi, ia mempunyai orang-orang sebagai anggota yang lebih banyak terikat secara emosional karena kesamaan bakat. Kumpulan-kumpulan seperti inilah yang mampu memberikan ruang yang luas bagi mahasiswa untuk menunjukkan eksistensi diri melalui kreatifitas yang diciptakannya.
Di berbagai kampus tumbuh komunitas-komunitas kreatif ini secara alamiah. Bagaimana melihatnya, tentu saja dengan karya-karya yang dilahirkan anggotanya. Ada contoh kecil dalam wilayah kreatifitas menulis di Fakultas Sastra Universitas Andalas. Berbagai komunitas menulis muncul, ada yang bernama Junto Club hingga Yasmin Akbar. Komunitas-komunitas ini tidak memiliki struktur kelembagaan secara formal, namun orang-orang di dalamnya adalah mereka yang menulis di berbagai media. Komunitas-komunitas seperti ini banyak bermunculkan dengan medan kreatifitas yang beragam pula.
Fenomena Yasmin Akbar
Yasmin Akbar adalah keomunitas penulis mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Andalas. Dirintis sejak 1995, komunitas ini aktif menulis di berbagai media lokal Sumbar bahkan ke media nasional. Secara intens, mereka juga membuat buletin hingga menerbitkan buku sendiri. Ikatan emosional anggotanya atas kesamaan bakat di bidang kepenulisan sangat efektif dalam mendorong minat menulis di kalangan mahasiswa.
Beberapa tahun eksistensinya, Yasmin Akbar menjadi sebuah organisasi ekstrakurikuler di Fakultas Sastra Unand. Namun, sejurus dengan itu, kreatifitas menulis anggotanya justru mengalami penurunan drastis. Persoalannya, komunitas ini telah dibelenggu oleh jerat birokrasi ala kampus yang mematikan kreatifitas anggotanya. Ikatan emosional untuk harus menulis sudah hilang, karena lingkungan birokrasi yang menaunginya tidak memiliki figur-figur yang menulis.
Komunitas kreatif tumbuh secara alamiah. Ikatan emosional anggotanya atas kesamaan bakat sangat efektif mendorong kreatifitas orang-orang yang bergabung di dalamnya. Kalau kemudian, ada komunitas yang lahir dan mati, itu menjadi sesuatu yang lumrah. Jatuh-bangun komunitas tersebut akan menumbuhkan budaya kompetisi yang mendorong mahasiswa menunjukkan eksistensi dirinya melalui karya-karya yang diciptakannya. Mahasiswa membutuhkan wadah yang terbetas dari belenggu kepentingan politis dan birokratis kampus yang diisi oleh orang-orang yang terjebak rutinitas dan malas berkarya. A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar