Jumat, Desember 14, 2007

Negeri Menara

DAHULU ada sebuah anekdot yang menggelitik keunikkan rumah adat Minang. Rumah bagonjong yang memiliki banyak atap berujung runcing, seperti tanduk kerbau menjadi kegamangan para penerjun payung untuk mencoba terjun di Ranah Minang. Memang hanya sebagai lelucon, namun agaknya kegamangan semakin bertambah saja.
Tidak hanya atap rumah bagonjong yang bisa membuat gamang penerjun payung, kini langit-langit Sumbar dipenuhi menara-menara yang tentunya bukan tempat yang layak untuk berlabuh bagi para penerjun. Tidak hanya di daerah perkotaan, terutama Padang dan Bukittinggi, menara yang menjadi jalan koneksitas bagi pengguna telpon seluler merambah sampai ke pelosok kampung. Aura bisnis seluler yang menggiurkan, maraknya operator bermunculan, banjir menara tak dapat dihindarkan. Menara-menara itu penting untuk memberikan pelayanan prima kepada pengguna telpon seluler. Bisa dibayangkan, ketika munculnya operator seluler itu tak terbendungkan, kemudian ramai-ramai membangun menara untuk memperkuat eksistensinya. Bisa-bisa, tak ada lagi tempat yang nyaman buat penerjun payung atau pecinta olahraga gantole.
Keberadaan menara-menara telekomunikasi di satu sisi adalah menjawab kebutuhan masyarakat yang tak terbantahkan lagi tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan komunikasi yang ekstra cepat dan canggih. " Kapan di kampung kami ada tower?" Begitu selalu permintaannya. Di sisi lain, tentu saja adalah bisnis. Nah, untuk yang satu ini kerap menuai kontroversi.
Ekspansi menara-menara ini sudah sangat luar biasa. Tidak hanya di punggung bukit, di tengah komplek perumahanpun dibangun. Jaraknyapun tak berbilang lagi dari rumah-rumah warga. Bukan tidak ada yang protes. Banyak yang bertanya, apakah mereka aman bermukim di bawah menara yang menjulang tinggi itu. Bagaimana tidak, memandangnya dari bawah saja sudah membuat gamang dan terasa akan ditimpanya saja. Kalau berpikir tentang itu, ketidakselamatan yang terbayang karena besi-besi menara itu beratnya ratusan ton.
Entah ada aturan, menara-menara itu boleh dibangun di tengah keramaian pemukiman. Namun, cerita tentang protes mereka yang merasa gamang di dekatnya senasib dengan kisah warga yang berada di jalur sutet, tegangan tinggi listrik. Orang-orang sibuk berdeban akan ketidaknyamanan hidup mereka, dampak kesehatan dan kecerdasan yang merenggut kebahagiaannya, namun kepentingan bisnis mengalahkan semuanya.
Kalau ada yang merasa gamang berada di menara-menara tinggi itu, apakah ada yang mempedulikannya? Bukan cerita baru, dimana-mana konsumen selalu dikalahkan.
Dahulu, Si Fulan kecil selalu menghabiskan harinya bermain di perkarangan di belakang rumahnya. Namun, semenjak di sana dibangun menara, jadilah perkarangan itu daerah terlarang.
Karena termasuk orang lama yang terkenal awam, Si Fulan besar begitu takjub dengan menara tinggi yang berdiri di sebelah rumahnya. Namun, semenjak musim angin ribut, hujan dan gempa, iapun mempertanyakan mengapa menara itu berdiri di sebelah rumahnya. Kenapa menara itu tidak berdiri di tengah tanah lapang yang sepadan luasnya dengan tinggi menara. Apakah terlalu berat harganya bagi pemilik menara itu menyadiakan tanah yang sedikit lapang? A.R. Rizal

Tidak ada komentar: