SUMBAR tidak luput didera bencana. Sudah menjadi hukum alam, Ranah Bundo Kanduang ini berada dalam pusaran bencana. Berada dalam patahan kerak bumi, negeri ini menjadi langganan gempa. Topografi yang berbukit, menjadikannya daerah langganan longsor. Tsunami dan banjir, hingga gunung berapi sisi lain bencana yang mengancam Ranah Minang. Sejauh mana potensi bencana itu membentuk karakter masyarakat secara sosial dan kultural?
Religius adalah ciri yang melekat pada ciri sosial masyarakat Minang. Mereka mempunyai falsafah adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah dan sejarah yang panjang dalam melahirkan tokoh ulama besar secara nasional maupun internasional. Namun, ciri religius itu bukan berarti otomatis akan membentuk karakter spiritualitas masyarakatnya.
Falsafah religiusitas masyarakat Minang dalam konteks sosial selama ini selalu distigmakan hanya sebagai slogan belaka. Falsafah itu banyak yang tidak tercermin dalam karakter masyarakatnya, baik secara personal maupun secara soasil. Falsafah religiusitas itu banyak di verbalkan, namun kenyataannya banyak pula pola sikap sosial masyarakat yang bertentangan dengan falsafah tersebut.
Sejauh mana nilai-nilai falsafah itu mampu membentuk kepribadian masyarakat Minang, baik secara personal maupun sosial, itu tergantung bagaimana aktualisasi nilai-nilai terjadi di tengah masyarakat, bagaimana nilai-nilai itu mampu menyentuh sisi personal dan sosial masyarakat itu sendiri. Proses inilah yang selama ini mulai hilang. Kondisi yang banyak dikhawatirkan banyak kalangan.
Berbagai upaya aktualisasi nilai religiusitas ini memang terus dilakukan. Pemerintah daerah mencoba mengaktualisasikannya dalam hukum formal, seperti dengan melahirkan berbagai Perda yang mengarah pada pembentukan sikap moral dan spiritual masyarakat. Intitusi pendidikan juga digunakan untuk melakukan transfer pemahaman terhadap nilai-nilai adat dan budaya yang berakar pada religiusitas tersebut. Namun, upaya itu menjadi sangat berarti ketika terjadinya hal-hal dramatis dan tragis di tengah masyarakat sendiri.
Bencana gempa yang melanda Sumbar beberapa hari belakangan telah membangun spiritualitas yang kuat di tengah masyarakat. Ketika gempa terjadi, masyarakat menunjukkan spiritualitas sosial yang besar di tenda-tenda pengungsian sementara. Mereka berbau dan melakukan peran untuk saling menguatkan secara psikologis. Solidaritas untuk membantu satu sama lain juga sangat kentara. Ada yang begitu berlapang dada meminjamkan tenda yang sebenarnya bagi dirinya sendiri tidak memadai. Spiritualitas secara sosial begitu cepat tersulut menjadi bagian karakter masyarakat Minang. Bencana telah memberikan pelajaran yang besar secara sosio-kultural.
Di tengah semakin bergairahnya spiritualitas sosial tersebut, ironi juga bermunculan dengan stigma yang terus terjadi terhadap lemahnya spiritualitas personal sejumlah anggota masyarakat. Di tengah bencana gempa yang melanda beberapa hari belakangan, masih saja ada individu masyarakat yang merasa terganggu kepentingannya oleh aktifitas pengungsian. Umpat dan caci maki begitu saja meluncur, terutama di saat keramaian evakuasi warga. Hal yang lebih memiriskan lagi, di tengah bencana tersebut, masih ada saja pasangan muda-mudi yang bermadu kasih di tempat-tempat wisata, bahkan itu juga dilakukan di tempat-tempat evakuasi sementara. Bencana ternyata tidak mampu mendidik spiritualitas personal sebagian masyarakat. Spiritualitas sosial terkadang saling berhubungan dengan spiritualitas personal. Keduanya bisa saling menguatkan, namun bisa juga saling tidak memiliki hubungan. Bencana telah melahirkan spiritualitas sosial yang kuat di tengah masyarakat. Instrumen ini bisa dijadikan pula sebagai momentum untuk menghidupkan spititual personal masyarakat. A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar