Jumat, Desember 07, 2007

Uang Habis untuk Mengambil Honor

Nasib Buruk Guru Honor di Mentawai

POLICOMAN-Sumiati, Yosemina dan Ismael adalah guru honor di SD pedalaman Mentawai. Gajinya, Anda tahu sendiri, tak seberapa. Tapi untuk menjemput gaji itu, diperlukan ongkos pompong Rp300 ribu. Kalau yang memegang uang tak bertemu, terpaksa bermalam, maka habis sudah honornya sebulan. Kemarin ini ada penerimaan PNS. Yosemina terpaksa mengurut dada. Uang ikut tes saja, ia perlu ongkos Rp600 ribu. Ia memilih tidak ikut.
Dalam palunan rimba Mentawai, mereka urai hari demi hari. Mereka gantungkan harapan setinggi langit. Dihidupi anaknya, si buah hati. Tiap pagi mereka datang ke sekolah mendidik murid-muridnya. Bisa jadi, ketika berapi-api menerangkan pelajaran, pada saat yang sama uang di dompetnya sudah tak ada.
Memang menjadi pendidik di daerah terpencil bukan menjadi pilihan bagi semua orang. Selain menghadapi tantangan alam yang belum bersahabat dengan manusia, pemikiran warga pedalaman yang belum terbuka menjadi persoalan lain. Namun, bagi tenaga guru di Kepulauan Mentawai, birokrasi menjadi belenggu lain yang lebih menyakitkan.
Kepiluan itu dirasakan benar oleh Yosemina yang mengabdikan diri sebagai guru honor di SD Negeri 02 Singapogna yang terletak di Dusun Policoman. Sekian kali, perempuan yang mengasuh siswa kelas VI itu mengurungkan niat untuk mengikuti tes calon pegawai negeri sipil. Alasannya, bukan karena dia tidak memenuhi persyaratan.
Yose sendiri berlatar pendidikan sarjana pendidikan. Tentunya, dia sangat memenuhi persyaratan untuk mengikuti CPNS. Masalahnya sederhana, tak ada uang. Untuk mengikuti tes CPNS, dia harus pergi ke ibukabupaten di Tua Pejat. Untuk ke sana minimal dibutuhkan dana Rp600 ribu. " Honor saya mengajar berapalah. Kalau ikut tes kan belum tentu diterima juga," ujar Yose.
Tidak cukup itu saja dilema yang dihadapi Yose. Dia dan tiga guru honor lainnya di tempatnya mengabdi harus menunggu tiga bulan sekali untuk mendapatkan honor mengajarnya yang cuma Rp400 ribu perbulan. Penantian itu menurut Yose karena harus dijemput di Labuan Bajau, tempat sang kepala sekolah menetap karena merangkap memimpin SD lain di sana. Untuk ke Labuan Bajau hanya ada transportasi perahu pompong yang memakan waktu 2-4 jam. Tapi, jangan bayangkan ongkos yang harus dikeluarkan, mencapai Rp150 ribu. Kalau pulang-pergi, maka dana yang dibutuhkan mencapai Rp300 ribu. Itupun kalau mujur langsung bisa bertemu dengan kepala sekolah. Kalau tidak, maka dibutuhkan dana tambahan untuk bermalam di Labuan Bajau.
Kepiluan dalam pengabdian mencerdaskan anak-anak Mentawai ternyata tidak hanya dimiliki Yosemina yang masih berstatus guru honor. Ismael yang sudah menjadi PNS dan satu-satunya guru PNS di SD 02 Singapogna, untuk urusan menjemput gaji, lelaki yang sudah mengabdi sepuluh tahun itu juga mengumpul dulu bilangan bulan. Berbeda dengan Yose, Ismael harus mengambil gaji ke Kecamatan Siberut Utara di Muaro Sikabaluan. Untuk ke sana harus menaiki perahu pompong ke Pokai. Dari sana terus menggunakan jasa ojek ke Muaro Sikabaluan. " Pernah bendaharanya tidak ada di kecamatan, terpaksalah saya menginap di Sikabaluan. Akibatnya, gaji yang dijemput habis untuk biaya di perjalanan," ujar Ismael.
Sekian lama mengabdi, bukan kesulitan hidup yang membuat Ismael risau. Beban ekonominya memang berat karena harus menghidupi seorang istri dan tiga anak yang masih kecil-kecil. Untuk sekadar makan, ia masih bisa menanggulangi dengan hasil kebun. Hal yang paling dirisaukannya sekarang adalah nasib anak didiknya.
Di sekolahnya yang kecil dengan kondisi ruang yang cukup lumayan, Ismael memiliki 105 siswa. Namun, bersekolah bagi anak-anak pedalaman Mentawai belumlah dipandang sebagai kebutuhan penting. "Di sini, anak-anak gampang saja libur. Kalau mereka ditinggal orangtuanya berladang yang bisa berhari-hari, biasanya mereka tak sekolah. Di sini, kita sempat dimarahi orangtua yang kesal anaknya tidak membantunya berladang karena harus sekolah," tambah Ismael.
Tidak mengherankan, angka putus sekolah sangat tinggi di sini. Ismael menggambarkan, Ujian Nasional 2006 ini hanya sembilan siswanya yang ikut. Dari sembilan orang itu, hanya dua orang yang melanjutkan ke SMP. Kondisi ini sangat beralasan karena SMP hanya ada di Labuan Bajau. Kalau sekolah di sana, maka anak-anak itu harus jauh dari rumah dan orangtuanya.
Tantangan terbesar pendidikan di Mentawai menurut Ismael adalah biaya hidup yang besar. Ia mencontohkan, untuk mengikuti UN, siswanya harus mendayung sampan ke Labuan Bajau karena melaksanakan UN sendiri di sekolah, biayanya akan mahal. Untuk UN di Labuan Bajau saja, dengan memberangkatan 9 siswa, biayanya menurut Ismael mencapai Rp6 jutaan karena sulitnya transportasi. Muridnya yang rata-rata berusia belasan tahun itu ditambahkan Ismael harus juga menghadang ombak Mentawai yang terkenal ganas.
Ismael memang punya segudang harapan kepada pemerintah. Ia pernah mendengar akan adanya dana BOS, namun sekian lama mengabdi, ia tak pernah melihat wujud dana itu. Kalau besarannya mencapai Rp19.500 permurid setiap bulannya, Ismael justru mempertanyakan apakah ada artinya dana tersebut dibandingkan ongkos pompong di sana yang mencapai Rp50 ribu untuk sekadar melihat pantai Sigep dari sungai Sigep yang berlumpur ketika pasang surut.
Tidak mengherankan kemudian, menuntut ilmu menjadi perjuangan besar bagi anak-anak Mentawai. Namun, dalam kondisi itu tetap saja ada guru-guru yang berjiwa besar untuk teguh dengan pegabdiannya. Sumiati, contoh lainnya. Perempuan yang sudah menjadi guru honor selama satu tahun ini tidak bisa meninggalkan anaknya yang masih balita untuk memenuhi kewajiban mengasuh kelas I.
Setelah mengambil absen, Sumiati kembali menemukan ada tiga muridnya tidak masuk. Dia pun memulai pelajaran dengan berbahasa Indonesia yang sangat kental logat Mentawainya. " Nah, anak-anak, sekarang kita mulai belajar. Kalau belajar harus tenang. Kalau menjawab tak boleh keras-keras ya..!" ujar Sumiati menegur salah seorang muridnya yang menjawab dengan logat Mentawai yang sangat kental, seperti ombak Mentawai yang bergemuruh di musim anggau.
Anak-anak itupun diam seribu bahasa dan duduk tenang di bangku masing-masing. Mereka saling memandang dan terlihatlah mereka tidak seragam. Ada seorang di pojok yang masih mengenakan pakaian seragam taman kanak-kanaknya. Ada lagi yang masih mengenakan baju bermain. Hanya, kaki-kaki mereka yang lebih seragam: sama-sama tak beralas sepatu ataupun sandal. A.R. Rizal

Tidak ada komentar: