EMPAT pemilihan kepala daerah akan dilaksanakan sepanjang 2008 di Sumbar. Keempat daerah itu adalah Kota Padang, Pariaman, Padang Panjang dan Sawahlunto. Sebagai sebuah proses demokrasi, pemilihan itu biasa-biasa saja. Namun, ada yang sedikit berbeda, terutama bagi keempat kota ini, karena baru pertama kali melaksanakan pemilihan secara langsung.
Walaupun hanya pesta lokal, namun gaungnya sudah terdengar dimana-mana. Ephoria itu tidak hanya ada di empat kota tersebut namun merambah ke daerah lain, bahkan sampai juga gaungnya ke perantauan. Hal itu tidak terlepas dari ramainya nama-nama yang disebut sebagai bakal calon. Orang rantaupun dielus untuk jadi jagoan, walaupun baru seumur hidup melihat kampung halamannya.
Kalau mau dirilis, sudah beratus pasang nama yang dimunculkan. Ada bakal calon yang sengaja menyebut-nyebut dirinya, ada yang disebut-sebut orang ramai. Seperti semuanya punya peluang yang sama untuk menang, walaupun kepercayaan diri itu tidak pernah diukur secara rasional. Kalaupun ada hitung-hitungannya, pasti hanyalah berdasarkan hasil survei yang dibuat sesuai pesanan.
Entah Ranah Minang ini begitu mumpuni dalam melahirkan orang-orang yang siap dijadikan pemimpin. Tapi, bisa juga banyaknya yang berhasrat karena tidak ada satupun figur yang benar-benar bisa dipercaya memegang amanah besar itu. Jadinya, ibarat asa di tengah buih yang berlalu-lalang dibuai gelombang. Payah-payah memilih, yang didapat mumbang juga!
Banyak yang berhasrat menjadi kepala daerah, entah apa motifnya. Padahal, tak sedikit uang yang akan dikeluarkan untuk hasrat tersebut. Tak berbilang juta, namun miliaran. Sementara, kalau merujuk logika finansial dari eksistensi sebagai kepala daerah di empat kota itu tidaklah seberapa. Padang bolehlah menjanjikan, begitupun dengan Sawahlunto. Namun, kota kecil Pariaman dan Padang Panjang yang hanya memiliki tiga kecamatan, apa yang bisa diharapkan? Tapi, bagi para pehasrat yang memiliki kelebihan uang, tentunya itu malah menjadi tantangan untuk mengasah eksistensinya. Kadang memang hasrat berkuasa terlalu rumit untuk dilogikakan.
Bisa jadi, terlalu banyak centang perenang negeri ini yang membuat banyak orang berhasrat untuk membenahinya. Kalau bicara carut-marut itu, kota sekecil apapun pastilah akan menghadirkan tantangan yang tak ada habisknya.
Demokrasi, cara yang dipilih masyarakat negeri ini untuk mencari pemimpinnya. Cara yang bukan yang terbaik, namun pastinya menjadi cara yang paling mahal bagi mereka yang berhasrat. Munculnya sedikit calon, bagi masyarakat bisa jadi tidak demokratis. Namun, munculnya banyak calon justru menambah sia-sia belanja Pilkada yang harus dikeluarkan.
Ada yang menjual diri ada yang mengelus-elus untuk menjadikan barang jualan. Jangan sampai saja harga diri dan masa depan negeri ini ikut pula diperjualbelikan. A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar