Jumat, Januari 18, 2008

Politik Tempe

TEMPE goreng bukan makanan biasa. Memang bukan makanan kelas elit, namun di situlah letak tidak biasanya. Tempe goreng itu adalah simbol kesederhanaan, simbol masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun itu dulu. Dengan harga kedelei yang menjadi bahan dasar pembuatan tempe yang merangkak naik, tempe goreng bisa-bisa berubah status menjadi makanan yang "tak biasa".
Kenaikan harga kedelei sudah terjadi enam bulan belakangan. Awal Januari tahun lalu, harga kacang kedelai Rp 3400 per kilogram. Kemudian mulai naik menjadi Rp 3800 per kilogram pada Agustus-September. Harga tersebut terus meningkat, awal Desember harga kacang kedelai per kilogramnya Rp 6000, dan naik hingga Rp 7300 pada akhir Desember. Puncaknya pada 2 Januari lalu, harga kacang kedelai mencapai Rp 7500 per kilogram. Kenaikan yang begitu fantastis mencapai 150 persen.
Kenaikan harga kedelei di banyak tempat memang telah memicu reaksi, terutama dari kalangan pengrajin bahan olahan kedelai. Puncaknya protes sekitar lima ribu pengrajin tempe se-Jabodetabek ke istana negara dan gedung DPR. Walaupun tidak ada reaksi yang sama dari masyarakat sebagai konsumen, namun dengan banyaknya usaha pengolahan tempe yang terpaksa gulung tikar tentunya memberikan dampak beban ekonomi yang besar kepada masyarakat.
Pemerintah tidak akan mengambil kontrol yang berlebihan terhadap kenaikkan harga kedelei, karena memang tidak termasuk komoditi yang terkait langsung dengan kebutuhan masyarakat banyak. Namun, pemerintah melalui Mentri Pertanian sudah membuat langkah solusif untuk meringankan biaya impor kedelei. Ini tentu saja tidak menjadi kabar baik bagi petani kedelei dan memang selama ini kedelei tidaklah menjanjikan secara ekonomis kepada petani. Namun, ini menjadi persoalan besar terhadap arah pembangunan bangsa ini. Dikenal sebagai negara agraris, namun Indonesia saat ini telah menjadi negara pengimpor terbesar produk pertanian di dunia. Kalau tahun 1980-an, Indonesia berhasil menjadi negara swasembada, namun sekarang tidak hanya beras, kedeleipun harus diimpor dari negara lain.
Melonjaknya harga kedelei telah memicu gelombang protes di tengah masyarakat. Industri olahan tempe terpukul dan terancam gulung tikar. Alhasil, bertamlah daftar pengangguran yang berarti pula semakin membengkaknya angka kemiskinan. Namun, ada yang lebih besar dari sekadar kekhawatiran itu, yakni ketakutan-ketakutan yang dikait-kaitkan dengan politik, terutama Pilpres 2009 mendatang.
Krisis tempe dikait-kaitkan dengan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola ketahanan pangan. Walaupun komoditi kedelei tidak terkait langsung dengan komsumsi dasar masyarakat atau terkait dengan keberpihakkan terhadap nasib petani walaupun secara topografis kedelei bukanlah komoditas yang cocok dengan tanah Indonesia dan tidak terlalu menjanjikan secara ekonomis, namun kesan simbolis kedelei dengan produk olahan tahu dan tempe yang identik dengan wong cilik bias menjadi isu politik yang menjadi bomerang bagi kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang berkuasa. Popularitas tentunya menjadi hitung-hitungan yang sangat sensitif dalam Pilpres 2009.
Ironis juga, mengapa tempe sebagai produk olahan kedelei tetap saja menjadi simbolisasi wong cilik, padahal sebagian besar produk itu berasal dari impor. Lebih ironis lagi kalau itu dikait-kaitkan dengan popularitas dan Pilpres 2009. Orang rebut-ribut soal tempe, para elit politik mendapat mainan baru untuk popularitasnya. Dari hiruk-pikuk itu, wong cilik tetap hanya bisa menjerit. Di tengah jeritan itu lahirlah “pahlawan-pahlawan” baru, yang mungkin tak pernah sekalipun sepanjang hidupnya mencicipi makanan yang bernama tempe. A.R. Rizal

Tidak ada komentar: