Selasa, Februari 05, 2008

Rumah Sawah

FALSAFAH alam takambang jadi guru menjadi pondasi bagi orang Minang untuk hidup dengan kebersahajaan alam. Tidak hanya petuah-petuah hidupnya yang dekat dengan perumpamaan alam, dalam soal penamaan manusia bahkan tempat pun tidak terlepas dari alam.
Dahulu, di sepanjang Jln. Andalas menuju kampus Universitas Andalas di Limau Manih Padang ada sebuah kampung bernama Sarang Gagak. Asal-muasal nama kampung itu sudah bisa ditebak, konon di sana tempat bersarangnya burung gagak. Kalau diumpamakan sebuah pulau, Sarang Gagak dikelilingi hamparan sawah yang luas. Tak heran burung gagak senang bersarang di sana, karena sumber makanannya, terutama dari hamparan sawah tersedia berlimpah ruah.
Kini, Sarang Gagak masih ada, walaupun sudah menjelma sebagai nama kelurahan. Hal yang paling mencolok adalah, sangat sulit mencari seekorpun burung gagak di sana. Entah takut dengan kekejaman Kota Padang yang semakin ramai, yang pasti habitat tempat mereka mencari makan sudahlah hilang. Sawah di selingkaran Kampung Sarang Gagak sudah tinggal kenangan. Hamparan hijau sudah berganti atap-atap genteng yang menjulang. Di sebelah Kampung Sarang Gagak ada kampung bernama Tarandam. Bernama Tarandam karena kampung di perlintasan anak sungai yang mengairi hamparan sawah itu sering terendam air yang melimpah. Kampung itupun kini telah menjadi komplek perubahan, maka berendamlah orang-orang di komplek itu ketika hujan lebat melanda Kota Padang.
Pertumbuhan pemukiman merupakan sesuatu yang tidak terelakkan dari perkembangan Kota Padang. Tak ada lagi lahan secuil buat membangun rumah di pusat kota. Namun, tidak itu saja yang membuat warga kota memburu perumahan di daerah pinggiran, terutama yang mendekati kaki bukit, ketakutan tinggal di daerah pesisir pantai faktor lain yang memicu pembangunan pemukiman di daerah pinggiran bukit gila-gilaan. Resikonya, lahan produktif pertanian yang selama ini menjadi tumpuan pangan warga kota sudah dikavling oleh para developer untuk membangun perumahan dengan beraneka ragam tipe. Apakah pengalihan fungsi lahan produktif pertanian itu sesuatu yang wajar sebagai tuntutan pembangunan kota? Atau sebaliknya pembangunan kota itu sendiri yang telah merampas lahan-lahan produktif tersebut?
Bagaimanapun canggihnya kemajuan sebuah kota, fungsi pertanian tidak bisa dilupakan. Negara-negara maju sekalipun berlomba-lomba membangun basis pertaniannya dan Indonesia yang sekian tahun mengabaikan sektor ini sudah merasakan dampaknya. Dari negara pengekspor beras, kini menjadi negara pengimpor terbesar. Tak ada produk pertanian yang tidak diimpor negeri ini, dari gandum hingga kedelai. Ketika harga kedelei dunia naik, rakyatnya pun jadi panik ke ubun-ubun. Kalau negara maju mencoba membangun sektor pertaniannya dengan teknologi, Indonesia dengan kebaikkan Tuhan memberikan tanah subur justru menyia-nyiakannya.
Tentu ada yang salah dengan pembangunan kota yang membunuh potensi lahan-lahan produktifnya. Kalau lahan pertanian sudah habis di Kota Padang, tentu saja kota ini tidak pantas lagi berjuluk kota bingkuang. Padahal, julukkan itu bisa dipertahankan ketika pembangunan kota tetap bisa menyediakan perumahan massal bagi warganya tanpa harus mengorbankan lahan-lahan produktifnya. Tapi, itu tentu saja harapan hampa terhadap sebuah kebijakan yang tak pernah terwujudkan. Sekarangpun tak jelas sudah berapa lahan produktif pertanian yang sudah berubah menjadi pemukiman di Kota Padang, karena tak jelas batas ruang antara mana daerah pemukiman, mana kawasan pertanian, mana lahan tempat bermain, semuanya centang perenang. Kalaupun ada batas-batas ruang itu, tentu saja batas-batas tersebut sebagai sebuah aturan adalah untuk dilanggar. Kalaulah ini terus berkelanjutan, alam juga punya cara untuk menjatuhkan karmanya. A.R. Rizal

Tidak ada komentar: