WACANA tentang penamaan Minangkabau mengganti nama Provinsi Sumbar kembali didengungkan. Sebagai sebuah wacana, biasa-biasa saja. Dalam tradisi egaliter masyarakat Minang memang suka berwacana dan berdinamika.
Banyak juga argumentasi disodorkan untuk memperkuat penamaan Minangkabau untuk Provinsi Sumbar. Salah satunya "greget"-nya lebih terasa. Ini tentu saja merujuk kepada rasa primodial yang memang syah-syah saja dalam hidup bersosial dan berbudaya. Rasa-rasa adat dan budaya memang memiliki ikatan emosional dengan masyarakatnya. Primodialisme adalah sesuatu yang lumrah dalam kehidupan masyarakat Minang, bahkan dengan ciri egaliternya tadi, sikap primodial masyarakatnya justru menjadi pemicu semangat untuk maju. Lihat saja begitu dasyatnya rasa kesukuan orang Minang di perantauan, sehingga tercatatlah banyak orang awak yang sukses hidup justru karena merantau.
Secara geografis, wajar saja nama Minangkabau diusulkan sebagai nama Provinsi Sumbar. Kenyataannya, wilayah geografis Sumbar secara sosio-politis dulunya adalah wilayah Minangkabau. Namun, alasan itu tentu saja akan banyak diperdebatkan, karena wilayah sosio-politis Minangkabau di masa lalu juga termasuk sebagian Riau dan Jambi sekarang, bahkan sampai ke Negeri Sembilan Malaysia. Persoalan lainnya adalah konteks Minangkabau yang mengakar secara sosio-politis, ternyata tidak sepenuhnya bisa menyebut Sumbar secara keseluruhan. Realitasnya, Kabupaten Kepulauan Mentawai yang termasuk dalam wilayah Provinsi Sumbar sama sekali tidak memiliki hubungan sosio-politis dengan Minangkabau di masa lalu.
Sebagai sebuah nama, memang syah-syah saja untuk diusulkan. Namun, falsafah hidup orang Minang sendiri mempunyai kebijakan sosio-kultural soal penamaan. Seperti ungkapan, ketek banamo, gadang bagala. Nama, mempunyai makna filosofis bagi setiap orang Minang. Karena itu, memberi nama tidak sekadar menamai. Dalam konteks nama ini sendiri, kata Minangkabau itu masih perlu diperdebatkan. Ini belum lagi soal mengkaji Minangkabau secara historis sosio-kulturalnya. Untuk hal-hal yang sangat strategis, terutama dalam penamaan provinsi, tentu segala hal yang esensial menjadi pertimbangannya.
Minangkabau sendiri sebagai nama cukup membuat ambiguitas di tengah komunitas masyarakat Minang sendiri. Sampai hari ini, belum ada jawaban ilmiah yang paling filosofis untuk mencari tahu asal muasal nama Minangkabau. Ada literatur yang menyebut nama itu merujuk kepada sebuah kerajaan Melayu di Pagaruyung yang di masa lalu diperintah oleh seorang raja bernama Aditiawarman. Literatur itu tentu saja adalah Tambo Minangkabau yang secara akademis dipertanyakan kesahihannya sebagai bukti sejarah, karena tambo mengakumulasikan antara bukti sejarah, mitos dan legenda. Konon lagi, kata Minangkabau itu sendiri muncul dari sebuah peristiwa ketika kerbau orang Pagaruyung yang kecil berhasil mengalahkan kerbau orang Jawa yang besar, sehingga melekatlah nama Minangkabau yang berasal dari menang kabau. Lalu, apakah pondasi nama Minangkabau untuk Provinsi Sumbar itu dibangun dari cerita mitos dan legenda?
Ada juga asumsi yang menyebut nama Minangkabau berasal dari bahasa Arab, asal katanya Minangkhabawi. Nama ini merujuk kepada bentuk kesultanan Islam yang dulu pernah ada di Ranah Minang. Ini persoalan lain pula. Kalau memang ada kesultanan Islam di Minang pada zaman dahulu, ternyata pewaris trah darah biru di Minang, seperti Pagaruyung dan trah-trah kecil lainnya yang tersebar di berbagai wilayah sepanjang sungai Batang Hari lebih menyebut diri sebagai keturunan raja. Tidak ada yang mengkaji apakah dulu di Minang ada bentuk pemerintahan seperti kerajaan atau kesultanan Islam. Cerita-cerita itu berlalu-lalang sebagai dongeng yang tidak berkesudahan. Lalu, apakah penemaan Minangkabau untuk Provinsi Sumbar sebagai hasrat untuk kembali kepada zaman dongeng tersebut.
Tentang nama Minangkabau saja, ada kusut yang tidak berkesudahan. Orang Minang kemudian senang hidup dengan kebanggaan pada cerita dongeng, mitos dan legenda, padahal di sisi lain mereka mengaku sebagai masyarakat yang berpikiran maju, seperti sejarah masa lalunya yang banyak melahirkan orang-orang cerdas. Belum lagi persoalan kusut Minangkabau dari subtansi adat dan budayanya yang sering diagung-agungkan. Katanya punya falsafah adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah, namun bid'ah dan kurafat tetap meraja lela. Belum lagi berhala-berhala modernisasi yang marak menjangkiti generasi mudanya hari ini. Bukankah mencari kebenaran tentang Minangkabau lebih penting dari sekadar menukar nama Provinsi Sumbar menjadi Provinsi Minangkabau. Apalah artinya nama Minangkabau, kalau masyarakat di provinsi ini sama sekali tidak bisa bersikap dan bertingkahlaku sebagai sejatinya orang Minangkabau.
Penamaan Minangkabau di satu sisi hanya akan melahirkan primodialisme. Kalau primodialisme itu diapresiasi secara sempit, itu justru menjadi semangat yang tidak kondusif. Tentu saja membangun semangat keminangkabauan itu sebagai motivasi melangkah lebih maju, lebih pentingnya adalah bagaimana mengaktualisasikan spirit Minangkabau itu dari mengimplementasikan nilai-nilai kearifan Minangkabau yang menjadi sumber inspirasi masyarakat di negeri ini. Bagaimana misalnya, spirit merantau menjadi motivasi membangun kesuksesan orang Minang di perantauan atau spirit egaliter yang menjadi jalan melahirkan tokoh-tokoh pemikir besar di Minangkabau. Ini lebih penting dari sekadar menukar nama Provinsi Sumbar menjadi Provinsi Minangkabau. A.R. Rizal
2 komentar:
Untungnya gak ada yang niat bikin negara Minangkabau. Kalau ada, siap2 bikin paspor untuk ke Indonesia :D
Posting Komentar