VERIFIKASI yang dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum menempatkan puluhan partai politik. Beragam nama, bermacam ideologi, beraneka bendara, namun muaranya tetap tunggal, yaitu kekuasaan. Untuk menjamin keikutsertaan dalam kompetisi perebutan kursi legeslatif di daerah, partai harus memenuhi syarat kelengkapan. Tidak cukup punya pengurus, namun harus menyiapkan bakal calon legeslatif, belum lagi kader, simpatisan, hingga tim sukses. Padat karya, tentu tak murah harganya, namun hasrat berpartai tak jua berkurang.
Kekuasaan memang seperti candu yang memabukkan. Cukup beralasan, karena dengan kekuasaan segala hasrat bisa terpenuhkan. Kemewahan, status sosial, kesenangan, kesejatian kefanaan dunia yang diburu setiap orang. Namun, kekuasaan hanya ibarat gadis atau lelaki penggoda, yang tergoda yang sanggup melakukan berbagai macam cara.
Kalau hasrat sudah tergoda, kadang logika menjadi nihil. Hitung-hitungan hanya ada bilangan bertambah. Betapa optimisnya gramatikal para politikus, selalu ada semangat kemenangan. Yakin menjadi mayoritas, pemenang, 30-40-50-60 persen. Seperti seorang pelari marathon yang terlupa dan melakukan speed di awal perlombaan, banyaklah petualang politik bertumbangan sebelum berperang. Nafsu besar, tenaga kurang!
Musim verifikasi, banyaklah pengurus partai politik yang ketar-ketir. Tidak mengherankan kemudian, pencarian pengurus, anggota, hingga balon anggota parlemen tidak ubahnya seperti perjudian. Bermodal kartu tanda anggota, pendukungpun dibualkan dengan sejumlah kursi empuk menyenangkan. Bisa dibayangkan, hasil yang dinikmati rakyat dari perjudian itu.
Tukang becak bisa menjadi balon anggota legeslatif. Tukang ojek pun bisa menjadi petinggi partai politik. Ada juga yang menjadikan berpartai sebagai lapangan pekerjaan agar tidak dicap pengangguran. Yang lebih banyaknya, orang-orang yang punya sedikit uang kemudian tampil sebagai calon pemimpin lewat partai-partai. Tidak peduli kapasitas moral, keilmuan, politik menjadi ajang pertaruhan bagi para petualangnya. Yang dipertaruhkan adalah nasib rakyat.
Hasrat berkuasa membuat rakyat sebagai penentu kepemimpinannya tidak punya banyak pilihan untuk menentukan figur terbaik. Partai hanya memperjualbelikan buih-buih untuk dipilih dengan pilihan mau atau kehilangan pilihan. Dampak yang besar kemudian diderita oleh rakyat yang akhirnya memilih pemimpin yang tidak benar.
Di negara-negara maju yang menjadi kampiun demokrasi ternyata tidak memiliki tradisi partai politik seramai di Indonesia. Negeri ini tak ubahnya kampun besar partai politik. Semua kemudian sibuk mengurus politik, sehingga lupa mengurus hal-hal yang lebih urgen terkait nasib negeri ini. Begitu banyak hasrat berkuasa, namun tentu saja banyak para petualang politik yang sekadar bernafsu besar, tenaga kurang. A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar