Sabtu, Agustus 02, 2008

Resistensi Pasca Kemenangan

MERAIH suara terbanyak bukan berarti seorang calon kepala daerah bisa tidur nyenyak pasca pencoblosan. Detik-detik menjelang penetapan hasil Pilkada oleh rapat pleno KPU dan beberapa hari selepasnya menjadi titik rawan yang bisa mengubah segalanya. Kalah dalam pencoblosan bukan berarti kemenangan sudah tertutup. Gugatan secara hukum menjadi jalan yang banyak dipakai oleh calon kalah dan proses yang singkat ini memiliki resistensi yang tinggi untuk memunculkan konflik.

Pilkada pertama di Indonesia, sekaligus menjadi yang pertama membuahkan konflik pasca penetapan pemenang. Gugatan hukum atas kemenangan Nurmahmudi Ismail sempat memunculkan kisruh, walaupun tidak sempat menuai konflik jalanan. Contoh konflik Pilkada yang tak kunjung berkesudahan adalah Pemilihan Gubernur Maluku Utara. Walaupun Mendagri telah menetapkan pemenang, namun anarkisme terus terjadi di antara pendukung calon.

Tingkat kepercayaan yang kecil atas proses hukum bisa memicu resistensi yang kuat pasca Pilkada. Karena itu, masing-masing calon Pilkada benar-benar harus mempersiapkan diri, terkait bukti-bukti dalam menghadapi proses hukum pasca kemenangan. Ini juga menjadi langkah yang progresif untuk menimalisir resistensi di tingkat internal, terutama di kalangan pendukung calon.

Jor-joran saat kampanye tidak cukup bagi setiap calon kepala daerah. Kemenangan pasca pemilihan menjadi saat yang paling sensitive. Apalagi, kalau kemenangan itu dalam selisih suara yang tipis. Gugatan hukum menjadi jalan pintas yang populis dilakukan oleh calon yang tetap berharap kemenangan.

Selain mempersiapkan infrastruktur kampanye, setiap calon kepala daerah musti mempersiapkan pula infrastruktur menjaga perolehan suaranya. Kesiapan saksi di setiap TPS menjadi sangat penting. Tentu saja selanjutnya mempersiapkan tim hukum yang siap menlaksanakan semua proses di pengadilan.

Keberadaan saksi-saksi di TPS sangat penting untuk mengumpulkan alat bukti untuk menjaga kemenangan di pengadilan. Ketidakberesan alat bukti ini bisa menjadi titik lemah yang dimanfaatkan dalam gugatan hukum Pilkada.

Pilkada memang telah menciptakan berbagai dimensi terkait dengan social edication kepada masyarakat. Pilkada tidak hanya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat daerah, namun sekaligus menjadi wadah pendidikan hukum. Pilkada mengajarkan bahwa langkah hukum menjadi bagian yang mungkin dilakukan. Dengan demikian, baik calon kepala daerah maupun pendukungnya sudah dipersiapkan untuk menerima segala kemungkinan dari proses hukum tersebut.

Proses hukum penyelesaian sengketa Pilkada seharusnya menjadi jalan yang paling elegan. Namun, dalam banyak kasus, penyelesaian ini tetap saja tidak memuaskan banyak pihak. Sengketa-sengketa Pilkada yang berakhir di meja pengadilan ternyata di banyak daerah juga merebak kepada pengadilan jalanan. Hasil putusan hukum perkera Pilkada tak jarang memunculkan konflik dan anarkisme di tengah masyarakat. Ini merupakan cerminan bahwa pemahaman hukum itu masih lemah di tengah masyarakat, sehingga bagaimanapun resistensi pasca Pilkada itu akan tetap potensial terjadi. A.R. Rizal

Tidak ada komentar: