Rabu, Februari 11, 2009

Balada Petani dan Pupuk

CERITA petani dan pupuk seperti tak habis-habisnya. Ibarat kisah sinetron kejar tayang, selalu dibikin panjang. Kalau bisa alurnya dibuat tarik-ulur, naik-turun, klimaks-antiklimaks, sehingga semakin tak jelas ujung-pangkalnya.

Entah di mana salahnya, pupuk setiap musim tanam selalu menjadi barang langka. Hilang di mana-mana ketika petani sangat membutuhkannya. Ada distribusi yang tak lancar, produksi yang tersendat-sendat hingga permainan dalam penyaluran, itu sudah rahasia umum. Dan sudah jadi rahasia umum pula tangan-tangan pemegang kebijakan dan tangan-tangan hukum tidak cukup bisa untuk mengatasinya.

Berbagai sistem sudah dicoba. Tidak satu-dua orang-orang yang berniat buruk terpenjara karenanya. Pemerintah pun sudah berbaik hati memberikan subsidi agar petani mendapatkan pupuk dengan harga murah. Namun, uang subsidi itu terbuang percuma, karena petani tetap membeli pupuk dengan harga mahal. Mungkin yang salah subsidinya, karena di negeri ini segala sesuatu yang berbau subsidi pasti repot penyalurannya. Lihat saja BBM yang disubsidi, kalau tidak ditimbun, pastilah diseludupkan. Contoh lain, bantuan langsung tunai, subsidi untuk rakyat kecil yang menuai kisruh di mana-mana, hingga tidak tepat sasaran lah.

Bisa jadi juga, petani tidak terlalu cerdas untuk memahami berbagai kejanggalan yang ada. Kendatipun ada sistem yang baik untuk mendistribusikan pupuk, namun kalau petani tak paham menjalankan, hasilnya centang-parenang juga. Lihat saja ketika pupuk didistribusikan lewat kelompok tani, petani yang tak tahu bagaimana berorganisasi malah menjadi korban pecaloan ketua kelompoknya. Pupuk murah, malah dibeli mahal kepada ketuanya. Apalagi sekarang, distribusinya secara tertutup, makin tidak jelas. Makin banyak sistem yang diterapkan, seperti labor percobaan bagi petani saja untuk membuat mereka makin tidak bisa memahami apa-apa.

Kalau dihitung-hitung, logika kelangkaan pupuk itu sederhana saja. Pakai saja hukum dagang. Pupuk adalah barang yang sangat dibutuhkan petani. Kalau banyak permintaan, teorinya, pasti akan banyak pula upaya pencurangan. Dan ini sangat dimungkinkan untuk pupuk bersubsidi pemerintah, karena produsennya juga terbatas pula.

Bagaimana kalau petani tidak lagi membutuhkan pupuk? Nah, ini baru solusinya. Ketergantungan yang tinggi terhadap pupuk kimia membuat permintaan yang besar terhadap produksi pupuk tersebut, sehingga pemerintah pun terpaksa harus mensubsidinya. Ibarat orang yang sedang sakau, sekali dicoba, pemakaian pupuk kimia menimbulkan ketagihan hingga ketergantungan yang sangat besar bagi petani. Pada siklus itu, petani tidak akan mampu terlepas dari mata rantai niaga pupuk. Ketika ada permainan, maka petani tetap dalam posisi yang dipermainkan. Siapa pemainnya, bisa ditebak saja.

Kenapa tidak memakai pupuk organik saja. Bukankah pupuk organik lebih baik, lebih alami, lebih sehat, dijamin tidak menimbulkan ketagihan. Namun, tentu saja ini akan membunuh industrialisasi pupuk. Terjawab sudah kenapa kemudian pupuk organik tidak dimasyarakatkan, tidak dipopulerkan, malah distigmakan. Karena, petanian adalah terkait dengan hajat hidup orang banyak, melibatkan banyak orang kecil dan mereka inilah yang paling gampang untuk dikorbankan. A.R. Rizal

Tidak ada komentar: