HASIL Pemilu 2004 yang menjadi anggota legislatif hari ini memiliki catatan panjang tentang coreng hitam akan kinerja mereka. Sorotan itu tidak hanya terkait lemahnya kapasitas mereka dalam melaksanakan fungsi sesuai perundang-undangan, namun anggota dewan juga rajin menampakkan citra negatif kepada publik. Ada kasus asusila, hingga korupsi, kolusi dan nepotisme. Tidak satu-dua anggota dewan yang dibui, namun tidak berbilang hitung lagi, merata dari tingkat pusat hingga daerah.
Ada yang menyalahkan sistem Pemilu 2004 yang membuat masyarakat terperangkap memilih calon wakil rakyat yang buruk. Karena sistemnya ditentukan nomor urut. Masalahnya, keburukkan itu sudah dimulai dari sistem rekruitmen caleg yang dilakukan partai politik. Partai politik yang korup, menetapkan caleg yang korup dan masyarakat tak punya pilihan untuk tidak memilihnya.
Namun, sistem suara terbanyak yang diterapkan pada Pemilu 2009 ini setidaknya akan memupus atau minimal mengurangi pilihan yang salah dari masyarakat terhadap wakilnya di legislatif. Ibarat tidak lagi memilih kucing dalam karung, masyarakat boleh berkeyakinan setiap suara yang diberikan kepada calon pilihannya benar-benar tidak akan beralih ke calon lain. Akan tetapi, apakah memilih langsung dengan suara terbanyak ini benar-benar akan melahirkan wakil rakyat yang berkualitas, ini masih perlu diuji dan dipertaruhkan.
Persoalannya adalah sejauh apakah masyarakat pemilih sudah cerdas melihat calon wakilnya yang benar-benar cerdas. Dalam pemilihan langsung dengan suara terbanyak, pada akhirnya wakil-wakil rakyat yang cerdas akan ditentukan oleh pemilih-pemilih yang cerdas dalam memilih. Dalam sistem ini, anggota dewan terpilih kemudian menjadi refleksi dari masyarakat yang telah memilihnya. Munculnya anggota dewan yang buruk, itu adalah cerminan dari masyrakatnya yang juga sakit.
Siapa yang kemudian bisa menjamin masyarakat bisa secara cerdas memilih calon wakilnya yang cerdas. Di sinilah pentingnya pendidikan politik ketimbang sistem politik yang terbaik itu sendiri. Selama masyarakat tidak terdidik secara politik, maka mustahil sistem politik terbaik itu akan bisa berjalan dengan baik. Namun, di sinilah akar persoalannya, masyarakat pemilih tidak pernah tercerdaskan secara politik.
Menarik kemudian menopang tanggung jawab pendidikan politik itu kepada caleg yang kini meramaikan bursa pemilihan. Caleg yang cerdas, ia akan tahu bagaimana mendidik pemilihnya dengan kampanye yang cerdas.
Kecendrungan saat ini memang ironis. Caleg-caleg lebih suka membenamkan diri dalam pola kampanye seragam, lebih banyak terbar pesona ketimbang memberikan pencerahan. Indikasinya, sudut-sudut jalan ramai dengan baliho, poster dan spanduk wajah caleg. Bahasanya jamak, menampilkan wajah, nama dan nomor urut. Tak ada visi, tak ada misi yang akan diperjuangkan untuk rakyat. Benar-benar menjual tampang, tanpa mau mengungkapkan latar belakang. Itu sama sama memilih kucing dalam karung. Lebih tidak mendidik lagi, caleg-caleg itu ada yang tersangkut hukum karena memasang atribut yang melanggar ketentuan. Bagaimana mereka mempromosikan diri untuk dipilih, sementara ia sendiri menampakkan diri sebagai orang yang tak pantas untuk dipilih. A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar