PESTA demokrasi melahirkan banyak fenomena. Ibarat sebuah perhelatan, hajatan besar lima tahunan itu seperti sengaja dipersiapkan untuk orang-orang bermodal besar. Dengan keputusan Mahkamah Konstitusi menganulir Undang-undang Pemilu yang menghapus pasal tentang nomor urut, sistem porposional terbuka Pemilu kali ini menjadi pesta yang teramat mahal.
Seperti memang menjadi ”reuni politik” orang-orang berpunya, pesta ini dipersiapkan untuk menerima tamu-tamu istemewa. Mereka yang berkantong tebal. Ramailah bursa pencalegkan oleh kalangan pengusaha yang memang identik dengan pundi-pundi keuangannya.
Kemunculan caleg-caleg kalangan pengusaha sungguh mencegangkan. Dengan modal besar, mereka relah habis-habisan. Membentuk tim yang solid, menebar banyak alat kampanye, tentang uang seolah tidak lagi menjadi persoalan. Kadang jauh dari logika ketika mempertanyakan, apakah modal yang besar itu sepadan dengan hasil yang akan bisa dikumpulkan nantinya ketika terpilih sebagai anggota dewan. Hitung-hitungan yang memang selalu lekat dengan dunia para usahawan. Hitung-hitungannya pasti selalu seberapa untung yang bisa diraih dengan modal yang telah dikeluarkan.
Di tengah permukaan, hidup sebagai anggota dewan memang mengenakan, setidaknya demikian selalu diperlihatkan. Namun, menjadi anggota dewan bukan seperti mata pencaharian. Pendapatan yang dimungkinkan sebagai salah satu abdi negara sudah ada batasannya dalam ketentuan anggaran yang didasari perundang-undangan. Di luar dari batas itu, berarti sebuah pelanggaran secara hukum. Berbanding dengan pendapatan seorang pengusaha, ibarat rezkinya tidak berpintu. Pundi-pundi yang terkumpulkan bisa melampaui batas-batas yang bisa diperkirakan. Dalam analogi ini, menjadi seorang anggota dewan bukan sebuah pilihan yang logis bagi seorang usahawan. Lalu, mengapa kemudian para pengusaha itu berlomba-lomba terjun dalam dunia politik untuk ikut bertarung dalam bursa pencalonan anggota dewan?
Banyak alasannya. Sekadar prestise, menambah daftar riwayat hidup, bisa jadi untuk status yang lebih terhormat di tengah-tengah masyarakat. Menjadi anggota dewan bagi caleg usahawan bisa juga berbanding lurus dengan menambah pendapatan, apalagi ada stigma tentang pengusaha yang begitu bergantung kepada proyek-proyek pemerintahan. Menjadi anggota dewan membuka jalan yang lebih luang untuk kesempatan tersebut. Harta dan tahta adalah mata rantai yang tidak terlepas dari sisi pergolakan peradaban manusia. Dalam konteks ini, manusia tidak pernah terpuaskan atas pencapaiannya. Agaknya ini alasan yang paling logis.
Tentu saja ada jawaban yang lebih idealis. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menyemai bakti bagi nusa, bangsa dan masyarakatnya. Secara futuristik, kiprah seorang caleg usahawan bisa cukup menjanjikan. Dari sudut kacamata sosial, pencapaian mereka dalam membangun usahanya akan menjadi semacam oase perubahan bagi masyarakat. Mereka bisa memberikan harapan yang besar atas keberpihakan terhadap rakyat, karena stigmanya segalanya sudah mereka dapatkan, tinggalah jalan untuk pengabdian.
Apapun motifnya, yang terpenting adalah pembuktian yang bisa dirasakan. Politikus usahawan, bukanlah sesuatu yang terharamkan. Bahkanpun, politik dijadikan usaha, semua bisa dihalalkan. Yang penting, siapa yang nanti akan menentukan. A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar