APA yang terkenang ketika orang menyebut Kota Padang? Legenda kasih tak sampai Siti Nurbaya, Pantai Air Manis, Batu Malin Kundang, Pantai Padang, ibukota Provinsi Sumbar atau bengkuang. Untuk yang terakhir ini, tidak banyak yang tahu, walaupun sebenarnya buah bengkuang sudah lama menjadi maskotnya Kota Padang.
Tersebutlah Padang sebagai kota bengkuang. Ketika memasuki kota ini dari arah perbatasan, maka terlihatnya tugu buah bengkuang dipajang untuk menyambut setiap pendatang. Namun, mencari buah bengkuang sebenar-benarnya, susah-susah gampang. Susahnya, tidak disemua tempat buah ini diperjualbelikan. Gampangnya, buah ini sangat gampang ditemukan di emperan jalan yang menjadi terminal bayangan di Kota Padang.
Tentu ada alasan kenapa bengkuang menjadi maskotnya Kota Padang. Rasanya manis, mengandung banyak air, memang cocok mewakili topografi Kota Padang yang panas karena berada di pinggiran pantai. Alasan mendasar lainnya, ada nilai-nilai filosofis dan tentu saja karena buah ini banyak dibudidayakan yang kemudian menjadi produk khas Kota Padang. Yang terakhir ini mungkin akan jadi cerita saja. Pertanian bengkuang semakin susah ditemukan menyusul semakin tergerusnya lahan pertanian akibat perkembangan kota. Atau ada alasan lain bagi petani untuk tidak menanam bengkuang, karena harga jualnya yang tidak menjanjikan. Untuk kondisi yang terakhir ini, agaknya kontekstual dengan alasan menjadikan bengkuang sebagai maskotnya Kota Padang, karena bisa jadi suatu saat buah ini akan langka di Kota Padang, dan dengan mengenangnya sebagai maskot, itu sudah cukup menjadi sebuah kearifan sejarah.
Banyak yang pandai membuat maskot, slogan dan simbol-simbol, namun banyak yang tidak bisa menghargai dari makna-makna simbolis tersebut. Sebagai buah yang biasa dikonsumsi untuk kebutuhan yang tidak terlalu prestisius, memang tak banyak artinya buah bengkuang bila dibandingkan dengan buah-buah impor lainnya. Karena itulah, buah ini diabaikan. Namun, sesungguhnya hal yang sederhana ini menjadi luar biasa dan bernilai tinggi, apabila mampu untuk menjadikannya lebih bernilai.
Bengkuang tidak hanya berhenti dikonsumsi sebagai buah segar. Ia bisa diolah sebagi jus, minuman segar. Ketika diproduksi sebagai minuman segar, ia akan bisa dijual dengan lebih berharga di restoran atau kafe-kafe. Ketika bengkuang diolah menjadi dodol dengan kemasan yang menarik, maka ia bisa menjadi penghuni gerai mall-mall besar. Tidak seperti saat ini, ketika bengkuang menjadi buah yang terancam busuk di emperan jalan karena tidak dibeli orang-orang. Tidak banyak yang memikirkan ini atau mencoba untuk memulainya. Masalahnya, banyak yang terbiasa dengan budaya abai dan lalai. Ketika kemudian bengkuang diklaim sebagai produk khas bangsa lain, barulah banyak yang ramai-ramai memprotesnya. Memang sulit mencoba menghargai diri sendiri, kerena banyak yang tidak menyadari kelebihan yang dimiliki, namun lebih sering tercengan-cengang dengan kemasyuran orang lain. A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar