Jumat, September 11, 2009

ISI PERUT

“SEBAGIAN besar penyakit itu berasal dari perut!”. Namun, kita terbiasa dengan ungkapan “asal perut kenyang”.

Banyak alasan orang-orang kemudian berpikir sederhana untuk memenuhi kebutuhan isi perutnya. Asal menarik, harga terjangkau! Akan lebih bagus bisa membeli lebih banyak dengan anggaran seadanya. Tanpa disadari, kita memenuhi isi perut dengan bahan-bahan yang di kemudian hari menjelma menjadi racun yang sangat mematikan. Pangkal persoalannya sederhana, karena kita terlanjur menilai sederhana tentang mengisi perut ini.

Urusan perut memang membuat siapa saja bergairah untuk berbelanja. Saat ini, bisa jadi sudah datang musimnya. Setiap memasuki bulan suci Ramadan, orang berlomba-lomba berbelanja kebutuhan isi perutnya. Layaknya sebuah tradisi turun-temurun, menjelang Ramadan memang ada kebiasaan menyediakan berbagai makanan khas. Ada lemang, cindua, rendang, kue-kuean khas lainnya yang cukup membuat permintaan pasar akan barang-barang kebutuhan perut itu melonjak tinggi. Permintaan banyak, harga akan naik, begitu hukum ekonominya. Namun, untuk urusan menyambut bulan Ramadan, selalu saja ada yang berkuat hati untuk memenuhinya.

Hukum ekonomi pula yang mendorong banyak orang mengeruk untung besar dengan cara berdagang. Menimbun barang, menjual barang kadaluarsa, hingga barang-barang yang mengandung bahan-bahan berbahaya, praktik yang sering dilakukan dengan modal seminim-minimnya, berharap untung sebesar-besarnya. Kepada konsumen, sesuatu yang besar dipertaruhkan.

Urusan perut itu tidaklah sederhana. Kalau tak awas, celakapun tiba. Bahan-bahan berbahaya yang tanpa sadar memenuhi isi perut, suatu saat akan menjelma menjadi penyakit yang mematikan. Maka aneh-aneh saja penyakit orang sekarang, itu bermula dari apa yang ia makan. Ada jantung, kolesterol, stroke, hingga kanker, orang-orang menyebutnya penyakit-penyakit yang tidak ada obatnya. Padahal, semua bermula dari cara mengisi perut. Kata kuncinya awas dan cerdas ketika berbelanja untuk isi perut.

Dalam banyak realitas, masyarakat sebagai konsumen tidak menganggap penting cerdas sebelum berbelanja kebutuhan perut. Asal menarik dari sisi bentuk dan warna, itulah pelihan pertamanya. Apalagi harga miring, orang tidak akan memilih-milih lagi barang yang akan dibelinya. Banyak yang kemudian terjebak, bentuk dan warna yang menarik ternyata dikamuflasekan dari zat-zat yang membahayakan bagi kesehatan. Isu formalin, zat pewarna berbahaya, jadi ancaman di mana-mana. Belum lagi maraknya produk kadaluarsa, hingga barang-barang glondongan yang sulit dibedakan dari barang aslinya.

Masa-masa di mana tingginya kebutuhan, seperti menjelang bulan Ramadan ini menjadi waktu yang sensitif untuk merebaknya produk kadaluarsa dan makanan mengandung zat berbahaya. Tingginya animo konsumen yang membuat lemahnya keawasan mereka untuk berbelanja kerap dijadikan kesempatan untuk menjual produk-produk tersebut. Pengawasan mungkin dilakukan. Namun, itu tidak cukup membuat apa yang dijual di pasar itu baik-baik saja. Benteng terakhir adalah masyarakat konsumen sendiri. Sebagai konsumen haruslah cerdas. Kerena ini pertaruhan terhadap isi perut. ***

Tidak ada komentar: