KASUS kematian salah seorang praja IPDN di Jatinangor beberapa tahun lalu ternyata hanyalah sebuah fenomena gunung es. Satu kasus terungkap, namun banyak kasus lain yang lambat laut menunggu untuk terungkapkan.
Kasus terakhir adalah kekerasan di sebuah institusi pendidikan polisi di Palu, Sulawesi Tengah. Walaupun petinggi Polri membantah tayangan kekerasan dalam format video kamera itu hanya rekayasa, namun itu cukup untuk menggelitik nurani. Sebelumnya, secara rentetan, media menayangkan kekerasan yang dilakukan gang pelajar, seperti di Kalimantan. Kekerasan, mungkin sesuatu yang lumrah terjadi sebagai sebuah realitas hidup, seperti perperangan yang terus terjadi di berbagai belahan dunia, seperti tindak kriminalitas yang terjadi setiap hari. Namun, pertanyaan terbesarnya adalah mengapa kemudian kekerasan itu justru terjadi di ruang pendidikan yang harusnya mengajarkan kepada generasi bangsa akan nilai-nilai nurani yang membangun eksistensi dasar kemanusiaan.
Sejarah kembali berulang. Sejarah hitam yang tak pernah terinsafkan. Belum sebab akibat terjawabkan, kasus kekerasan di ranah pendidikan kembali terjadi. Ada apa dengan dunia pendidikan kita?
Pendidikan kering dengan nilai-nilai. Pendidikan hanya mengejar angka-angka kelulusan. Pendidikan sarat dengan manipulasi, pembodohan dan kebohongan. Pendidikan berada dalam system yang timpang, fasilitas yang terbatas, anggaran yang minim, kesejahteraan tenaga pendidik yang memprihatinkan. Pendidikan di tengah bayang-bayang komersialisasi. Terlalu banyak untuk mengeja berbagai ketimpangan dan teramat sulit lagi memperbaiki satu-satu di antaranya.
Tidak gampang memang “membangun” manusia menjadi manusia sebenarnya. Namun, ironisnya, tidak banyak yang benar-benar yakin bisa melakukannya. Anggaran 20 persen untuk pendidikan teramat rumit untuk direalisasikan. Kalaupun itu bisa diterapkan dalam anggaran di daerah, tentu tidak 100 persen dari 20 persen itu bisa tersalurkan dengan benar. Belum lagi berkomitmen terhadap upaya untuk membangun system pendidikan yang baik, kurikulum yang baik yang mampu memanusiakan anak didik.
Banyak yang pesimis dengan cara-cara pendidikan formal dalam memberikan pembelajaran. Begitu banyak coreng. Ada yang kemudian beralih kepada pendidikan alternatif, pendidikan yang memberikan ruang ekspresi yang besar bagi setiap manusia untuk mengenali dan mengaktualisasikan sisi kemanusiaannya. Namun, masih banyak yang berharap kepada institusi pendidikan, sekolah-sekolah, universitas, menjadi ruang yang bersahabat untuk bisa menjadi manusia yang sebenarnya. A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar