SIAP menang, siap kalah! Demikin slogan yang selalu didengungkan para petarung politik. Dua ungkapan yang selalu dibaca beriringan, walaupun di banyak kenyataan, selalu ada yang siap menang dan duduk manis di kursi kekuasaan, namun tak banyak yang punya nyali besar untuk menerima kekalahan.
Ekspresi kemenangan, sudah jamak. Dengan sebuah histeria, teriakan hingga sujud syukur. Kemenangan selalu disambut haru-biru, karena kemenangan selalu dipandang sebagai buah dari perjuangan, apalagi perjuangan itu tidak ringan untuk dijalankan.
Bagaimana dengan kekalahan? Ini dilemanya. Sulit menebak ekspresi kekalahan. Kalau sekadar tangis, sesal, itu yang bisa dilihat secra kasat mata. Namun, rasa kekalahan yang jauh di lubuk hati sungguh sulit untuk diterjemahkan. Ketika rasa itu menjadi beban yang menyesak di dada, kadang pelampiasannya sebagai sebuah ekspresi, sungguh bisa jauh dari logika akal sehat.
Pemilu tahun 2009 ini menghadirkan sebuah pertarungan yang sangat ketat. Banyak yang rela berkorban, banyak yang menaruh harapan akan sebuah kekuasaan. Di balik dinamika itu, alas an untuk kalah sebenarnya juga menjadi besar. Dalam tradisi siap menang, siap kalah, ini menjadi persoalan ketika banyak mereka yang menjadi calon anggota legislatif tidak siap menerima kekalahan.
Ada semacam stigma yang berkembang di penghujung masa kampanye pemilu kali ini, banyak caleg yang sudah bersiap-siap untuk menjadi penghuni rumah sakit jiwa, setidaknya menjadi pasien konsultan psikologi. Realitasnya, akan banyak yang kalah, karena kursi yang ada terbatas. Secara matematis, maka akan lebih banyak pula yang secara mental akan bermasalh ketika tidak bisa menerima kekalahan itu.
Bukan sekadar stigma, namun berbagai proses demokrasi yang melelahkan di negeri ini sudah melahirkan banyak contoh orang-orang yang kemudian tiba-tiba menjadi tidak waras ketika kalah dalam pertarungan politik. Sesuatu yang manusiawi atau menjadi cerminan dari masyarakat yang sakit. Masyarakat yang sakit, karena jabatan diperebutkan sebagai jatah untuk mendapatkan kemasyuran, untuk nama besar atau untuk kekayaan yang besar. Padahal, ketika kekuasaan menjadi sebuah amanah, maka tidak akan ada yang berburu untuknya, tak ada pula rumah sakit jiwa yang penuh gara-gara musim demokrasi tiba. A.R. Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar