Kamis, Oktober 22, 2009

MENTALITAS KORBAN

SEORANG tetangga saya protes pembagian beras bantuan gempa tidak merata. Hanya warga miskin yang diberi bantuan, padahal beras itu untuk bantuan gempa dan lebih dari 50-an warga di RT saya adalah korban gempa. Si tetangga minta agar pembagian beras merata, berapapun besarannya. Namun, Pak RT tak kuasa menghadapi protes warganya, ia memilih lepas tangan dari urusan bagi-membagi itu.

Gubernur saya juga sempat naik darah. Ada keluarga korban gempa yang berbicara di media massa, dibilang gubernur tak memperhatikan rakyatnya. Yang membuat gubernur saya makin tak enak hati adalah disebut pula primodial, hanya memperhatikan etnis tertentu dalam penanganan bencana.

Jauh di pedalaman Malalak, Kabupaten Agam, seorang ibu jalan tertatih mendaki bukit sambil memikul sisa gabah di rumahnya yang rubuh. Sepekan bencana, tak ada bantuan menyentuhnya. Ia berbicara lirih, bak orang yang kehilangan harapan. " Beginilah perasaian kami..." ujarnya.

Di sebuah posko bencana yang dibuat pemerintah, seorang lelaki berseragam nampak bermalas-malas dengan urusannya. Bantuan menumpuk, ia tak peduli. Ia berbicara pelan, untuk apa sibuk-sibuk menyalurkan bantuan itu, ia juga merasa sebagai korban gempa. Kalau ia bekerja keras untuk korban bencana, toh itu tak berdampak apa-apa terhadap karirnya ataupun penghasilannya.

Ini belum klimaksnya. Kisah utamanya adalah beberapa jam setelah gempa besar melanda Sumbar. Ramai-ramai orang turun ke jalan. Alhasil, bahan bakar minyak dijual dengan kenaikan harga berlipat-lipat. Banyak yang terengah-engah dalam pelarian, kemudian ada segelintir orang yang menjual air mineral dengan harga melangit. Tiket pesawat terbang hingga taksi pun membengkak tidak ketulungan. Tak ada seorangpun yang siap menghadapi bencana besar itu.

Kita sudah dibiasakan dengan berbagai simulasi bencana. Dari gempa hingga tsunami. Anak-anak kita sedari dini sudah diajarkan di sekolahnya tentang P3K. Namun, ketika bencana itu benar-benar datang, tak satupun di antara kita yang benar-benar siap. Hal itu karena, kita tidak siap menjadi korban.

Berpuluh-puluh tahun yang lalu, sejak republik ini didirikan, kita tidak pernah diajarkan bagaimana menjadi korban. Kita dibuai dengan bahasa pembangunan. Kemudian kita harus menanggung utang yang menggunung untuk membiayai pembangunan itu. Sementara, hanya segelintir orang yang dikayakan dengan pembangunan tersebut. Kita tidak pernah diajarkan untuk dibantu, namun selalu membantu. Kita membantu konglomerat-konglomerat, menyelamatkan bank-bank mereka dengan ratusan triliun, sementara kemudian dana BLBI itu mereka bawa lari ke luar negeri. Dan kita tidak pernah belajar menjadi korban, ketika kasus Bank Century berulang kembali.

Karena kita tak terbiasa menjadi korban, karena kita selalu dikorbankan. Orang-orang yang dikorbankan itu adalah orang-orang yang dibiasakan dengan penderitaan, kesusahan, kemudian sesama orang yang dikorbankan kita saling menyalahkan, saling menyakiti, saling berprasangka buruk. Dan sebagai orang-orang yang dikorbankan, kita dijadikan tontonan . A.R. Rizal

Tidak ada komentar: