DALAM pemahaman dekontruksi, sebuah kehancuran itu menjadi sebuah keniscayaan untuk sebuah tatanan yang lebih baik. Sebuah titik nadir itu bahkan harus diciptakan agar bisa ditemukan sebuah momentum untuk memulai sesuatu yang lebih baik. Namun, banyak momentum itu diciptakan oleh tangan Tuhan.
Orang-orang akan selalu bertanya tentang sebab akibat. Kalau tidak ada mahasiswa yang gugur dalam demontrasi 1998, mungkin tidak akan ada reformasi. Kalau tidak ada perang sipil, mungkin tidak akan ada sebuah negara adidaya bernama Amerika. Kalau tidak ada rencana pembunuhan oleh kafir Quraisy, mungkin tak ada hijrah. Kalau tak ada tsunami di Aceh, mungkin tak ada perdamaian di negeri Serambi Mekah itu.
Begitulah sebuah sejarah besar diciptakan. Sejarah besar itu tidak diciptakan oleh sesuatu yang kecil. Karena itulah hadirnya sebuah momentum. Momentum yang kadang meminta pengorbanan yang lebih besar.
Beberapa tahun belakakangan, terutama pasca tsunami Aceh, Sumatra Barat tak pernah lepas dari gempa. Ada gempa tahun 2004, gempa tahun 2007 belum hilang dari ingatan. Tiap bulan, pekan hingga hari, Ranah Minang selalu digoncang gempa. Dan pada Rabu, 30 September lalu, gempa besar yang sangat mematikan terjadi. Apakah ini hanya sebuah siklus panjang dari estalase ranah ini yang penuh bencana, atau ini sebuah titik balik.
Ada beberapa cara pandang dalam memandang bencana. Pertama, ia sebagai musibah. Ia tidak memiliki sebab akibat, ia datang sebagai ujian. Kedua, ia sebagai peringatan. Ia datang dari sebab akibat, ia datang untuk mengingatkan. Ketiga, ia sebagai laknat. Ia datang sebagai karma, hukuman dari perbuatan yang tak termaafkan.
Dalam terminologi agama, banyak risalah yang menceritakan tentang laknat bagi umat manusia yang menebar kemungkaran di permukaan bumi. Mereka yang ditenggelamkan oleh banjir, dikubur oleh gempa, hingga dimusnahkan dengan penyakit mematikan. Sebagai peringatan, bencana itu menyapa sepanjang peradaban manusia. Hutan yang dizalimi, maka ia memberi peringatan dengan banjir, longsor, hingga bencana kekeringan. Sebagai musibah, bencana datang tak diundang, pergi tak diantar. Dan bencana di ranah ini harus dipandang dari paradigma apa?
Kenyataannya, ranah ini tidak dimusnahkan. Memang ada korban nyawa, harta benda dan kehancuran. Namun, masih ada harapan, masih ada semangat, masih ada solidaritas. Bisa jadi, Tuhan masih sayang atau sekadar menguji hamba-Nya di ranah ini.
Banyak tanda tanya ketika bencana gempa itu terjadi. Mengapa tidak hanya bangunan-bangunan besar saja yang hancur, mengapa pula rumah orang-orang miskin itu. Mengapa pula anak-anak yang menuntut ilmu itu yang menjadi korban, mengapa tak yang lain? Mengapa rumah tetangga si fulan yang hancur, mengapa tidak tetangganya yang lain? Dan pertanyaan-pertanyaan itu tak berujung jawabannya. Kalau bencana ini sebuah musibah, ujian, maka Tuhan memberikan jalan untuk sebuah titik balik. Dan titik balik itu bisa mengubah bencana ini menjadi azab. Jalan untuk meniti titik balik itu hanyalah bangkit, dan orang-orang besar belajar dari sejarah terburuk yang pernah dilaluinya. A.R.Rizal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar