Rabu, November 17, 2010

Dinasti PNS


SEORANG teman yang menjadi PNS di sebuah kementrian di Jakarta pernah membuka cerita. Karena ia orang dalam, setidaknya tahu persis tentang apa yang terjadi di dalam dapur rumahnya. Sebelumnya saya memuji, ia bisa bersaing dan diterima sebagai PNS di kementrian yang cukup prestisius. Namun, cerita tentang teman-temannya membuat saya risih. Menurutnya, lebih dari 70 persen teman sekementriannya menjadi PNS lewat jalur kolegial. Mungkin juga di antaranya lewat uang pelicin.

Benarkah informasi teman itu? Banyak yang boleh membantahnya, tapi pengalaman empiris saya menyebutkan, mendekati 99 persen kebenarannya. Birokrasi di negeri ini memang luar biasa ribetnya. Kalau tak ada hubungan kolegial atau mau sedikit berbagi uang sogokan, jangan mimpi semua urusan terkait dengan birokrasi akan dimuluskan.

Cerita sederhanya saja ketika mengurus Kartu Tanda Penduduk. Jangan mimpi, untuk mendapatkan selembar kertas yang berukuran tak seberapa senti itu akan gratis. Gratis katanya, tapi kalau tanpa uang pelicin dan tips, jangan mimpi akan mendapatkan KTP secepat yang bisa diharapkan. Jadi, informasi teman itu sangat masuk akal, untuk mengurus KTP saja musti pakai uang pelicin, apalagi untuk urusan sekaliber menjadi PNS yang diperebutkan banyak orang.

Dahulu, banyak orang bisa jadi berpikir panjang untuk menjadi PNS. Cerita Oemar Bakri sungguh memeriskan. Gaji kecil dengan segala kesederhanaan. Namun, sekarang berbeda drastis, PNS menjadi perburuan. Bagaimana tidak, profesi berseragam itu sungguh menjanjikan. Gaji besar, banyak honor, tunjangan dan fasilitas yang menggiurkan. Tak mengherankan, banyak yang menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan profesi prestisius tersebut.

Banyak yang tergoda dan bermimpi menjadi PNS. Dan banyak lagi orang yang sangat tidak menginginkan semua kenyamanan itu hilang begitu saja. Bagi sebagian orang, PNS kemudian menjadi semacam jatah. Jatah yang kemudian diwariskan turun-temurun.

Praktik kolegial kemudian menjadi rahasia umum dalam penerimaan PNS. Praktik itu setali tiga uang dengan sogok-menyogok. Tidak mengherankan kemudian, sebuah institusi pemerintahan seperti kumpulan sanak-saudara atau ibarat sebuah keluarga besar saja. Dan semuanya berjalan penuh kekeluargaan, seperti juga praktik buruk birokrasi itu berjalan penuh ‘kekeluargaan’.

Itulah sebabnya begitu sulit membangun birokrasi yang baik. Bagaimana sesuatu yang baik itu bisa diwujudkan, apabila sejak awal sudah busuk. Semuanya dimulai dari busuknya penerimaan PNS itu sendiri.

Praktik buruk birokrasi itu kemudian menjadi setitik nira dalam belanga pelayanan publik. Setitik nira yang merusak susu sebelanga. Ironisnya, keburukkan itu terus terwariskan tanpa ada yang mampu memutus mata rantainya. Celakalah, ketika keburukkan itu tersimpan dalam ‘kerajaan’ birokrasi yang tak tergoyahkan. Alhasil, butuh mimpi yang sangat panjang untuk sebuah kenyataan birokrasi yang benar-benar berbuat untuk rakyat.***

Tidak ada komentar: