GAYUS Tambunan kembali membuat heboh. Terdakwa kasus penggelapan uang pajak itu diduga tersorot kamera wartawan ketika berada di Bali. Itu tentu saja menjadi perisitiwa luar biasa, karena ia sedang menjadi tahanan di Markas Brimob Jakarta atas kasus yang dihadapinya. Kuping polisi pun dibuat panas, yang terheran-heran tentunya orang banyak karena penjara tidak berarti apa-apa bagi seorang Gayus.
Hebat sekali mantan staf Dirjen Pajak itu. Satgas pemberantasan mafia hukum yang menjadi perpanjangan tangan presiden bahkan harus membujuknya dari pelarian di Singapura. Tidak itu saja, Gayus sebagai seorang terdakwa bisa dengan bebas hilir-mudik keluar-masuk penjara. Di dalam penjara pun ia bisa dengan bebas berpelesiran.
Seandainya Gayus itu maling ayam, tentu nasibnya tak seberuntung sekarang. Lihatlah maling ayam di penjara. Mereka mendapat sel yang paling buruk. Sebelum masuk sel, yang bernasib apes dihajar dulu oleh massa yang kalap. Belum lagi dijitak habis-habis di kantor polisi untuk sebuah pengakuan. Itu jamak terjadi, seperti banyak disebut-sebut di media massa. Namun, Gayus bukan maling ayam. Ia itu maling kelas kakap. Hasil kejahatannya, ratusan miliar uang pajak yang seharusnya menjadi uang negara yang bisa digunakan untuk mensejahterakan rakyat masuk ke kantong pribadinya. Dengan uang haram yang berlimpah itu, apa yang tak bisa dibeli oleh Gayus.
Kisah Gayus itu memberikan gambaran yang nyata tentang wajah busuk penegakan hukum di negeri ini. Sebelumnya ada kasus terpidana kosupsi Artalyta Suryani yang bisa membeli fasilitas hotel berbintang di penjara. Ia bisa mendatangkan juru hias, nisa luluran, tinggal di ruangan ber-AC ketika banyak tahanan lainnya menghuni sel yang pengap dan dingin. Kasus Gayus itu melengkapi bukti tentang stigma buruk penegakan hukum: asal ada uang, apa pun bisa dibeli, termasuk kebebasan!
Gayus itu memanifestasikan perilaku buruk yang pernah dipertontonkan koruptor kelas kakap di masa lalu. Seperti kasus BLBI yang heboh usai krisis ekonomi 1998 lalu. Banyak koruptor BLBI yang hari ini bebas berkeliaran dan hidup dengan kemewahan dari hasil memakan uang rakyat. Ini menjadi semacam penguatan stigma, bahwa kalau ingin hidup senang, jadi koruptor saja. Jadi, koruptor itu jangan nanggung, korupsilah uang rakyat sebanyak-banyaknya, bahkan kalau bisa tak habis tujuh turunan. Seperti Gayus, dengan uang hasil korupsinya, ia tetap bisa membeli kebebasan dan kemewahan hidup.
Gayus mungkin sudah memprediksikan, penjara tak berarti apa-apa baginya. Yang penting kaya, hukum bisa dibeli. Tentu saja untuk semua kebebasan dan kenyamanan itu ia harus mengeluarkan uang. Namun, apalah arti uang itu dibandingkan hasil jarahannya yang banyak luar biasa. Dengan uang, Gayus bisa membeli hukum, menampar orang-orang berhati kerdil dengan seragam yang bisa dibeli secara murah.
Tak butuh uang banyak bagi Gayus untuk membeli hukum. Lihat saja, bagaimana ia membeli Kompol Arafat dengan hanya sebuah motor gede yang cuma berharga jutaan rupiah. Sungguh tidak adil, karena uang jutaan itu tak ada artinya dibandingkan ratusan miliar yang berhasil dijarah Gayus. Begitulah hukum diperlakukan sangat tidak adil.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar