Minggu, November 21, 2010

Mengundang Tsunami

SIAPALAH gerah dengan ramalan tsunami yang tiap sebenar. Akan hilang saja ranah ini diprediksikan. Gara-gara tsunami besar yang diisukan datang, siapa tak retek tapak kakinya bermukim di pesisir pantai. Ombak berdebur saja membuat tidur tak tenang.

Benar saja tsunami itu fenomena alam. Kalau ia fenomena alam, alamat sulit menebak kabar kedatangannya. Seperti jelangkung, datang tak diundang, pergi tak diantar. Tak ada kuasa kita menakar kuasa Tuhan.

Alam memang tak bisa ditakar. Musibah tak bisa dikejar, ia datang tak bisa pun dihindar. Namun, bencana datang bukan tanpa sebab-musabab. Tak salah Tuhan bersabda, sudah nyata kehancuran di permukaan bumi itu karena ulah manusia. Bencana datang tentulah karena manusia sebagai peyebabnya.

Risalah peradaban manusia sebenarnya telah membuktikan sebab-musabab bencana itu. Bangsa Fir'aun dihancurkan dan ditenggelamkan karena ia ingkar Tuhan, mengangab dirinya Tuhan. Korun ditelan bumi karena kekikiran dan kerakusan. Banyak bangsa di dunia yang dihancurkan karena kemungkaran yang diperbuatnya. Dan tsunami sebagai hukuman yang juga pernah diperlihatkan sejarah peradaban manusia di masa lalu.

Tsunami memang pantas ditakutkan. Bagaimanalah tak retek kaki-tangan dibuatnya, ratusan ribu orang ditelannya di Naggroe Aceh Darussalam. Korban seratus saja sudah membuat pilu tak terperikan di Mentawai, apalagi terbetik kabar ada tsunami yang lebih besar yang akan datang. Entahlah, kalau dipikir-pikir nalar, bisa gila pula dibuatnya. Tapi, mau tak mau, hal itu tetap musti dipikirkan juga.

Banyak yang risau memikirkan bencana, namun banyak yang tak risau melihat kemungkaran yang bisa memicu bencana tersebut. Siapa tak ciut nyalinya memikir kabar tentang tsunami, tapi tak banyak yang berkeras hatinya untuk memusnahkan kemaksiatan yang bisa memicu tsunami itu. Inilah peyakitnya kita, di tengah resah gulana bencana tsunami, ada orang-orang yang tetap pakak hatinya untuk tetap bermaksiat. Banyak yang tak takut mengundang bencana itu, seperti ia merasa Tuhan akan menyayangi keselamatan begitu saja.

Cobalah apa yang dilakukan orang-orang di pesisir pantai yang paling diancam tsunami itu. Di sepanjang pantai di Ulakan Tapakis Padang Pariaman, Satpol PP menangkap pasangan mesum. Di sepanjang pesisir pantai Padang tiap sebentar pelaku maksiat digelandang dan tak habis dirazia. Orang yang pekak hatinya bermaksiat ria di pantai-pantai. Gilanya lagi, orang-orang yang menggalas di pantai itu menyediakan pula payung-payung pendek dan warung kelambu agar orang bebas bermesum ria. Di Bungus hingga ke Bukit Lampu lihat saja. Seperti tak takut mereka tsunami kan tiba. Kalau mati, mati anjing saja orang yang dalam bermaksiat ria. Orang baik yang mati dalam bencana, maka gelar syuhada untuknya.

Orang takut dengan kabar tsunami, namun banyak yang tidak takut untuk mengundang bencana itu tiba. Inilah bodohnya kita. Kemaksiatan, kemungkaran dibiarkan di sepanjang pantai, malah tempat-tempat disediakan untuknya. Itu sama halnya mengundang bencana. Kalau sudah jadi bencana, mau yang berdosa atau berpahala, semua dilibasnya. Orang baik atau orang buruk, dilanyau bencana juga.

Untuk apa takut bencana, karena bencana sudah ada suratannya. Namun, takutlah kalau berbuat yang mengundang bencana. Kalau tak diundang, manalah bencana itu tiba.*

Tidak ada komentar: